Prospek bisnis PT Hansae Indonesia Utama tampaknya makin suram. Bulan ini, industri garmen yang memproduksi bahan pakaian untuk produk H&M hingga Nike itu berencana menutup salah satu pabriknya di Kawasan Berikat Nusantara (KBN), Cilincing, Jakarta Timur.
Kabar penutupan pabrik itu sebenarnya sudah lama berseliweran di kalangan Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) di Cilincing. Terlebih, ini bukan kali pertama Hansae menutup salah satu pabriknya.
Pada 2014, misalnya, Hansae 5 yang terletak di KBN Cilincing ditutup lantaran tak mampu membayar buruh usai kenaikan Upah Minimum (UMP) di DKI Jakarta.
Hansae sempat mengajukan penangguhan UMP kepada Gubernur Jakarta, yang saat itu masih dijabat oleh Joko Widodo (Jokowi). Namun, penangguhan itu ditolak lewat Keputusan Gubernur DKI Nomor 621 tahun 2014 yang diteken pada 17 April 2014 [PDF].
Dalam pertimbangannya, Jokowi mengatakan bahwa permohonan penangguhan ditolak karena tak sesuai dengan ketentuan. Selain itu, penangguhan juga “tidak disepakati oleh pengusaha dan serikat pekerja/buruh berdasarkan berita acara sidang Dewan Pengupahan Provinsi DKI Jakarta…
Sri Handayani, salah satu buruh Hansae, mengatakan bahwa penutupan kali ini menyasar pabrik Hansae 3 yang jumlah karyawannya sekitar 650-an orang. Kabar itu, kata Sri Handayani, dibenarkan oleh pihak manajemen.
“Tapi sampai sekarang petinggi perusahaan belum mau terbuka soal alasan penutupan,” kata Sri Handayani.
Berdasarkan kabar yang beredar di kalangan buruh, pesanan garmen yang selama ini digarap oleh Sri dan kawan-kawannya akan dialihkan ke salah satu pabrik di Jepara, Jawa Tengah. Para buruh menduga pabrik tersebut dimiliki oleh perusahaan dalam satu grup yang sama dengan Hansae.
Namun, kata Sri, pihak Hansae tak mau terbuka atas kepemilikan pabrik di Jepara tersebut kepada para buruh
Buruh Tuntut Pesangon Sesuai Aturan Sejumlah perwakilan pengurus FBLP yang bekerja di Hansae 3 kini mendesak perusahaan untuk membayar pesangon para buruh sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003. Jumlahnya harus sesuai dengan masa kerja para buruh, dan bukan sejak masa pengangkatan karyawan.
Hal ini, menurut Sri, penting karena saat Hansae 5 ditutup, besaran pesangon malah didasarkan pada masa kontrak pengangkatan. Para buruh khawatir bakal tertimpa nasib serupa. Apalagi, Hansae juga terkenal dengan rekan jejak buruk di kalangan buruh.
Tak hanya Indonesia, perusahaan asal Korea Selatan itu juga pernah jadi sasaran protes sejumlah mahasiswa di beberapa kota di Amerika Serikat. Perkaranya, salah satu pabrik Hansae di Vietnam yang jadi supplier bahan untuk Nike diduga melakukan pelanggaran terhadap hak-hak para buruh.
“Bayar pesangon berdasarkan masa kontrak melanggar undang-undang. Makannya mereka pesangonnya kecil. Bayangin ada yang kerja bertahun-tahun, tapi baru diangkat 2 tahun sebelum pabrik tutup. Pesangon cuma dibayar Rp10 juta,” tutur Sri.
Mereka juga menuntut agar gaji buruh dibayarkan hingga Juni –plus uang THR– jika pabrik benar-benar akan ditutup per-tanggal 30 April mendatang. Sebab, kata Sri, kebutuhan jelang Ramadan dan lebaran cukup besar serta para buruh kemungkinan akan sulit mendapat pekerjaan usai PHK massal tersebut.
Senin pekan depan, perusahaan dan serikat buruh rencananya bakal kembali berunding soal jumlah gaji pesangon yang diberikan. “Kami enggak akan tanda tangan, kalau tuntutan para buruh ditolak, pasti ramai,” kata Sri.
Kepala Dinas Ketenagakerjaan Pemprov DKI Jakarta, Andriyansyah mengatakan, instansinya bakal turun tangan untuk memastikan hak-hak para buruh agar tetap terpenuhi ketika PHK dilakukan.
“Kemarin sudah ditangani sama bidang Hubungan Industrial, nanti akan saya update perkembangannya,” ujar Andri saat dihubungi reporter Tirto.
Sementara itu, Benny Mahken, HRD Manager PT Hansae Indonesia Utama, tak merespons pertanyaan reporter Tirto terkait penutupan pabrik dan PHK ratusan karyawan di perusahaannya.
Ia tak menjawab panggilan telpon yang dilakukan reporter Tirto dalam upaya konfirmasi. Usaha konfirmasi via pesan sms pun tidak dibalasnya hingga artikel ini dirilis.