JAKARTA, KOMPAS.com – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia ( KSPI) akan menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR dan Kantor Kemenko Perekonomian, Selasa (25/8/2020).
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, ada dua tuntutan yang akan disampaikan massa buruh besok, yaitu tolak omnibus law RUU Cipta Kerja dan tolak PHK akibat dampak pandemi Covid-19.
“Sampai saat ini kami belum melihat apa strategi pemerintah dan DPR untuk menghindari PHK besar-besaran akibat covid-19 dan resesi ekonomi. Mereka seolah-olah tutup mata dengan adanya ancaman PHK yang sudah di depan mata, tetapi yang dilakukan justru ngebut membahas omnibus law,” kata Said dalam keterangan tertulis, Senin (24/8/2020).
Catatan KSPI, RUU Cipta Kerja akan merugikan buruh, karena menghapus upah minimum yaitu UMK dan UMSK dan memberlakukan upah per jam di bawah upah minimum.
Selain itu, mengurangi nilai pesangon dengan menghilangkan uang penggantian hak dan mengurangi uang penghargaan masa kerja, penggunaan buruh outsorcing dan buruh kontrak seumur hidup untuk semua jenis pekerjaan, waktu kerja yang eksploitatif, dan menghapus beberapa jenis hak cuti buruh serta menghapus hak upah saat cuti.
Karena itu, Said mengatakan KSPI meminta agar pembahasan RUU Cipta Kerja dihentikan.
“Selanjutnya pemerintah dan DPR fokus menyelesaikan permasalahan yang terjadi akibat dampak pandemi Covid-19,” ucapnya.
Ia mengatakan aksi esok hari dilakukan serentak di 20 provinsi.
Aksi di Jakarta akan diikuti puluhan ribu buruh di depan Gedung DPR dan ribuan buruh di kantor Menko Perekonomian.
“Bersamaan dengan aksi di Jakarta, aksi juga serentak dilakukan di berbagai daerah dengan mengusung isu yang sama,” ujar Said.
Said menegaskan, jika pemerintah dan DPR melanjutkan dan mengesahkan RUU Cipta Kerja, maka aksi massa buruh dan elemen masyarakat lainnya akan terus membesar.
“Bilamana DPR dan pemerintah tetap memaksa untuk pengesahan RUU Cipta Kerja, bisa saya pastikan, aksi-asi buruh dan elemen masyarakat sipil yang lain akan semakin membesar,” kata dia.
KSPI sendiri diketahui terlibat dalam tim perumus yang terdiri dari pimpinan DPR, Badan Legislasi, dan serikat buruh, yang membahas klaster ketenagakerjaan dalam draf omnibus law RUU Cipta Kerja.
Pada Jumat (21/8/2020), tim perumus telah menghasilkan empat kesepakatan terkait klaster ketenagakerjaan.
Namun, Said Iqbal berharap agar klaster ketenagakerjaan sebisa mungkin dikeluarkan dari draf RUU Cipta Kerja.
Menurut dia, hal itu bisa jadi salah satu solusi bagi pemerintah dan DPR jika mau segera mengesahkan RUU Cipta Kerja.
“Pandangan serikat buruh, sebaiknya klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja bila memungkinkan apabila 10 klaster lain ingin cepat-cepat diselesaikan, disahkan,” ujarnya.
Ia mengatakan, serikat buruh mendukung pembahasan klaster lainnya yang dapat mempermudah masuknya investasi asing ke Tanah Air.
Apalagi, kata Said, saat ini negara sedang dihadapi situasi sulit akibat pandemi Covid-19. Said mengatakan, pandangan tersebut telah ia sampaikan dalam rapat tim perumus.
“Dengan hormat kami menyampaikan kepada DPR mudah-mudahan dapat disampaikan kepada pemerintah dan memahami bahwa kami serikat pekerja setuju agar investasi masuk secepatnya, izin dipermudah, hambatan investasi dihilangkan,” tutur Said.
“Semua kerja-kerja dari birokrat dan pemerintah baik daerah maupun pusat mendukung langkah-langkah Presiden Jokowi untuk memudahkan investasi, apalagi pasca Covid-19,” kata dia.
Said berharap klaster ketenagakerjaan dapat dibahas secara khusus melalui revisi UU Ketenagakerjaan Nomor 13/2003.
Sebab, pembahasan ketenagakerjaan ini sejatinya memberikan perlindungan bagi buruh dan pekerja.
Namun, jika hal tersebut tidak dapat dipenuhi, maka ia berharap poin kesepahaman tim perumus diakomodasi.
“Bila mungkin, memang kami harapakan klaster ketenagakerjaan itu dikeluarkan dan RUU Ciptaker kemudian dibahas apakah bisa revisi UU terkait atau hal-hal lain yang nanti bisa didiskusikan,” ucapnya.