Menuju industri 4.0, tenaga kerja dari kalangan generasi muda (Milenial dan Gen Z) tidak lagi sekedar melawan eksploitasi dari politik upah murah.
Generasi ini akan berhadapan langsung dengan situasi dunia kerja yang makin pelik, seperti: sengitnya kompetisi pasar kerja dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), menyempitnya lapangan pekerjaan karena bonus demografi, downsizing tenaga kerja oleh perusahaan dalam rangka mengadopsi teknologi terkini dan tidak sesuainya keterampilan anak muda kita dengan kebutuhan perusahaan.
Ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia hingga sekarang. Salah satunya, untuk menciptakan kebijakan pembangunan sumber daya manusia yang kompatibel dengan industri 4.0, terutama melakukan mainstreaming program pembangunan kepemudaan yang saat ini belum sinergis antar kementerian-lembaga dengan dunia usaha.
Memang harus diakui bahwa mengimplementasikan industri 4.0 masih menjadi polemik di Indonesia. Elit politik mulai terbelah, terutama karena pilpres 2019, ada yang optimis dan ada yang sinis, terkait apakah Indonesia dapat menyambut revolusi industri 4.0?
Mereka yang sinis
Bagi kalangan sinis, otomatisasi dan digitalisasi merupakan mimpi buruk. Mereka sangat khawatir bahwa teknologi akan menerkam tenaga kerja manusia dan mereproduksi pengangguran yang semakin miskin. Kekhawatiran mulai terpatri dibenak sebagian generasi muda, yang kian hari kelimpungan untuk menata masa depannya.
Kelimpungan anak muda diperparah oleh pemberitaan media yang terlalu sering menjejali dampak negatif industri 4.0 dan para demagog politik yang “meramalkan” nasib Indonesia akan semakin suram karena kemunculan artificial intelligence (AI) dan infrasturktur lainnya.
Niat baik mereka melakukan ini, untuk memicu kesadaran kritis generasi Z maupun generasi milenial terhadap isu-isu ketenagakerjaan dan ekonomi, yang nantinya bermuara pada kepentingan politik elektoral mereka masing-masing.
Sayangnya, alih-alih membuat anak muda menjadi kritis, mereka malah membuat generasi ini pesismis terhadap dirinya sendiri. Anak muda akan berfikir bahwa semakin sulit untuk memiliki pekerjaan bahkan dengan ijazah sarjana, akhirnya mereka sibuk mencaci-maki situasi tanpa pernah berfikir untuk mengembangkan kapasitas diri.
Fenomena ini dapat direnungkan dari buku 21 Lessons for the 21 Century (2018) karya Yuval Noah Harari, kita dapat memahami bahwa industri 4.0 pasti akan mengubah hampir setiap sektor pekerjaan.
Namun. bagi Harari, jika kita masih histeria bahwa otomatisasi akan menciptakan pengangguran besar-besaran, itu adalah sebuah kemunduran yang membawa kita kembali ke abad 19, dan kenyataannya, sejauh ini ketakutan tersebut tidak pernah terbukti.
Bila merujuk pada gagasan Harari, sejak awal revolusi industri, untuk setiap pekerjaan yang digantikan teknologi, setidaknya satu pekerjaan baru diciptakan, dan standar hidup masyarakat rata-rata jadi meningkat secara signifikan.
Kita yang optimis
Sejarah membutikan, tidak ada negara manapun yang mampu membendung revolusi industri mulai dari yang pertama hingga yang ke empat. Jika pemerintah mencoba memperlambat laju perubahan, hal itu dikarenakan hanya untuk meredam polemik politik sembari menyiapkan talenta anak muda terbaik agar beradaptasi dengan revolusi industri 4.0
Bagi kita, generasi muda yang optimis, perlu melangkah bersama sekaligus mengakui bahwa teknologi konvensional, pranata sosial, sistem ekonomi, dan tradisi politik yang diwarisi oleh paradigma lama sudah tidak sesuai untuk menyonsong era Abundance (keberlimpahan).
Saat era abudance hadir, menurut Ray Kurzweil, seorang vioner MIT, kita akan menemukan 65 persen jenis pekerjaan yang benar-benar baru. Robot dan AI akan membantu 50 persen pekerjaan yang menggunakan otot dan otak manusia. Dengan kemajuan tersebut, Ray menyakini, manusia jadi bisa lebih fokus kepada jenis pekerjaan yang lebih bermartabat.
Bagi tenaga kerja muda sekarang, dapat dikatakan irelevansi keterampilan akan lebih menyakitkan daripada eksploitasi yang oleh perusahaan. Maksudnya, ketika keterampilan yang kita miliki hari ini, tidak lagi relevan dengan kebutuhan industri di masa depan.
Karena kerja-kerja yang bersifat repetitif, monoton dan sistemik akan segera digantikan oleh teknologi. Maka itu, penting bagi generasi muda untuk mulai membekali diri dengan hard skill dan soft skill yang paling vital di abad ini.
Yang pemerintah harus sadari
Antisipasi paling strategis untuk menjembatani pekerja muda menyesuaikan diri dengan industri 4.0 adalah melalui optimalisasi Balai Latihan Kerja (BLK) dengan Youth-Centered Approach.
Youth-Centered Approach adalah pendekatan untuk melibatkan, mendukung, dan menguatkan aspirasi juga preferensi anak muda. Dengan pendekatan ini, BLK akan menempatkan anak muda sebagai pusat pembangunan, anak muda sebagai klien utama dan mitra strategis pemerintah.
Hal ini tidak berlebihan, mengingat bahwa secara demografis generasi Z dan generasi milenial merupakan pemegang saham terbesar di republik ini, dan merekalah yang akan menjadi kunci berhasil atau tidaknya revolusi industri 4.0 Indonesia. BLK harus semakin responsif terhadap tren teknologi, kebudayaan, kebutuhan, keadaan, harapan, identitas, lokalitas, dan keberagaman anak muda termasuk pada persoalan geografis.
Harapannya dengan mengadopsi selera generasi muda, BLK milik Kementerian Tenaga Kerja (kemanaker) yang selama ini dianggap sebagai lembaga pelatihan yang ketinggalan jaman, bisa menjadi tempat yang asik bagi anak muda untuk menempa keterampilan senyaman kantor Google di New York.
Kita tidak perlu lagi membangun “Rumah Siap Kerja” yang akan menyerap anggaran yang besar atau terlalu menghamba pada “Kartu Pra Kerja” yang mekanismenya belum pasti.
Tapi, kita bisa mendukung langkah baik pemerintah, terutama Kemenaker dalam melakukan Reorientasi, Revitalisasi dan Rebranding (3R) BLK untuk mempercepat proses produksi tenaga kerja handal, tentunya yang berorientasi pada pembangunan kepemudaan yang link and match dengan industri 4.0 dan potensi lokal.
Harapannya, selain mencetak generasi muda untuk industri, BLK juga perlu mengambil peran dalam mencetak pengusaha muda, nelayan muda, petani muda, peternak muda dan beberapa sektor lainnya yang kurang diminati oleh generasi muda di pedesaan maupun perkotaan.
Maka, Siapapun presidennya nanti pasca pemilu, terobosan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Hanif Dhakiri untuk menyegarkan BLK harus tetap diteruskan dan di dukung oleh Pemda, Kemendagri, Kemendikbud, Kemenperin, Kemensos, BKKBN, Kadin, Kementerian terkait lainnya juga seluruh elemen generasi muda.