JAKARTA, KOMPAS.com – Sekjen Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Dedi Hardianto mendesak Presiden Joko Widodo segera merespon terkait masifnya penolakan dari kalangan buruh terhadap omnibus law RUU Cipta Kerja.
“Maraknya aksi buruh yang menolak omnibus law khususnya klaster ketenagakerjaan yang terjadi di seluruh Indonesia, seharusnya pemerintah Jokowi cepat tanggap untuk merespon, bahwa ada persoalan dalam omnibus law cipta kerja,” ujar Dedi dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (4/3/2020).
Dedi mengatakan klaster ketenagakerjaan yang masuk dalam paket penyederhanaan regulasi menjadi pokok fundamental bagi buruh.
Tawaran regulasi itu pun langsung direspon penolakan dari buruh.
Namun demikian, masifnya penolakan tersebut tak segera direspon Jokowi.
Menurut dia, Jokowi tidak ada upaya dan itikad baik untuk menyelesaikan persoalan tersebut, bahkan terkesan melakukan pembiaran.
“Seharusnya Pemerintah jokowi cepat merespon dengan menarik omnibus law cipta kerja, kemudian melakukan kajian ulang terutama klaster ketenagakerjaan dengan melibatkan unsur Triparti sesuai aturan, jangan sampai terlambat sehingga dapat merugikan seluruh pihak,” terang Dedi.
Dedi menyebut, dalam situasi seperti ini, pemerintah seharusnya tak mengedepankan egonya untuk tetap berambisi memenuhi aturan tersebut.
Sebab, terdapat prosedur yang salah dalam wacana aturan tersebut.
Setidaknya, terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi untuk melahirkan undang-undang. Antara lain manfaat, kepastian hukum, dan kesejahteraan.
Dia menilai, tiga syarat tersebut tak satu pun masuk dalam kriteria ombibus law tersebut.
Karena itu, pihaknya mendorong kalangan buruh untuk tetap konsisten melancarkan penolakan melalui aksi damai.
“Perjuangan kaum buruh hari ini adalah perjuangan anak bangsa dalam menjaga martabat kaum buruh dan keluarganya, kaum buruh butuh dukungan dari seluruh elemen masyarakat, jadi kaum buruh juga dapat melakukan aksi-aksi simpati,” tegas Dedi.
Setidaknya, ada sembilan alasan spesifik mengapa mereka menolak Omnibus Law Cipta Kerja.
Kesembilan alasan itu, yakni hilangnya upah minimum, hilangnya pesangon, penggunaan outsourcing yang bebas di semua jenis pekerjaan dan tak berbatas waktu.
Kemudian, jam kerja eksploitatif, penggunaan karyawan kontrak yang tidak terbatas, penggunaan tenaga kerja asing (TKA) dan PHK yang dipermudah.
Selain itu, hilangnya jaminan sosial bagi pekerja buruh khususnya kesehatan dan pensiun, serta sanksi pidana terhadap perusahaan yang dihilangkan.