Jakarta – Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hari ini tercatat mengalami penguatan. Ini artinya nilai dolar AS terus mengalami penurunan. Dari data Reuters dolar AS tercatat Rp 14.225. Sementara dari data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Rp 14.252.
Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah menyebutkan dari pasar spot dolar AS ditutup di level Rp 14.235, atau menguat Rp65 atau 0,45% dibanding level penutupan Jumat lalu di Rp 14.300.
Secara year to date (ytd) Rupiah melemah -4,75% . Menguatnya Rupiah disertai dengan turunnya yield obligasi negara 10 thn ke 7,8%.
“Penguatan Rupiah masih ditopang oleh derasnya arus modal masuk ke pasar keuangan domestik terutama pasar sekunder Surat Berharga Negara (SBN),”kata Nanang saat dihubungi, Senin (3/12/2018).
Dia menyebut pada November 2018 inflow atau aliran modal asing yang masuk ke SBN mencapai Rp 35 triliun naik dari Rp 15,1 triliun di bulan Oktober 2018
Menurut dia derasnya arus masuk modal investasi asing tersebut terjadi di tengah merebaknya optimisme atas kesepakatan President Trump dgn President Xi Jinping untuk melakukan “trade truce” dengan menunda pengenaan tambahan tariff oleh kedua negara untuk 90 hari ke depan dan mengintensifkan pembicaraan lanjutan untuk menghasilkan rumusan perjanjian dagang antara ke dua negara.
Besarnya arus modal portfolio asing tersebut juga tercermin dari supply pihak asing di pasar valas, yang menambah supply valas dari eksportir yang mencapai US$ 677 juta. Pasokan valas dari investor asing dan eksportir dapat menutup kebutuhan valas importir yang mencapai US$ 740 juta.
Selama November 2018 pasokan valas dari investor asing merupakan terbesar selama 2018 yaitu mencapai US$ 4,3 miliar, melebihi kebutuhan valas korporasi domestik selama November yang mencapai US$ 2,3 miliar.
“Mengalirnya arus modal asing juga menunjukkan kepercayaan yang kuat investor global terhadap daya tahan ekonomi makro Indonesia di tengah pasar keuangan global yang selama Maret – September 2018 terus bergejolak, karena ditopang oleh kebijakan moneter yang pre’emptive dalam merespon tantangan global dan domestik termasuk tantangan defisit neraca transaksi berjalab, serta kebijakan fiskal yang ditempuh secara konsisten dan prudent,” imbuh dia.
Nanang menyampaikan, potensi masuknya arus modal asing ke pasar SBN masih cukup besar karena meskipun yield SBN 10 tahun sudah turun ke 7,8%, namun bila dibandingkan dengan yield obligasi pemerintah AS (Treasury bond) yang mencapai 3% maka investor masih memperoleh spread 480 bps.
Demikian pula secara real, dengan inflasi November 2018 sebesar 3,23% maka nilai real dari yield yang ditawarkan oleh SBN 10 tahun mencapai 4,57%, tertinggi setelah Brazil.
“Tingkat inflasi yang rendah dan stabil juga akan membuat nilai tukar Rupiah secara efektif terhadap sekelompok mata uang mitra dagang atau dikenal Real Effctive Exchange Rate (REER) daya saingnya tetap terjaga. Oleh karena itu, pasar juga merespon positive data inflasi bulan November 2018,” jelas dia. (kil/dna)