Jakarta – Perwakilan eks-karyawan PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) sore tadi menyambangi kantor Kementerian BUMN untuk bertemu dengan Deputi Bidang Hukum dan Perundang-undangan Inspektur Jenderal Polisi Carlo Brix Tewu dan juga Direktur Utama (Dirut) Merpati Asep Ekanugraha.
Pertemuan itu merupakan audiensi terkait persoalan pelunasan pesangon 1.233 karyawan yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK) sejak tahun 2016.
Perlu diketahui, karena kondisi perusahaan akhirnya pesangon atas 1.233 karyawan yang kena PHK harus dipotong 50%. Selain itu, pesangon yang sudah dipotong itu akan dicicil dua kali.
Namun, sejak tahun 2018, PT Merpati Nusantara Airlines baru melakukan satu kali cicilan. Sementara cicilan keduanya tak dilunasi hingga sekarang.
Dalam kunjungan sore ini, Mantan SVP Corporate Planning PT MNA Ery Wardhana bersama 9 orang eks-karyawan lainnya yang tergabung dalam Tim Dobrak Merpati meminta solusi pada Carlo terkait pelunasan pesangon. Pasalnya, menurut Ery sejak tahun 2018 Asep sudah berhenti berkomunikasi dengan eks-karyawan yang pesangonnya belum dilunasi.
“Direksi sejak terakhir pembayaran pesangon di 2018 itu sudah nggak ada komunikasi sama kami. Apalagi mengumpulkan untuk audiensi, nggak ada. Makanya kami ke mana lagi? Ya ke Kementerian BUMN,” kata Ery ketika ditemui awak media di kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis (9/7/2020).
Sayangnya, menurut Ery hasil pertemuan itu berujung buntu. Audiensi yang berlangsung selama 1 jam sejak pukul 14.30-15.30 WIB berujung buntu. Pasalnya, baik Kementerian BUMN maupun Asep tak memberikan kepastian kapan sisa pesangon cair.
“Nggak ada titik temunya. Keliatan hanya bela diri saja. Nah itu kapan. semuanya makin tidak jelas,” ungkap Ery.
Menurutnya, baik Carlo maupun Asep hanya berpaku pada Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Surabaya. PKPU itu muncul ketika sebuah perusahaan katering (Parewa Catering) dan kreditur lain yang diajukan adalah PT Prathita Titian Nusantara (anak Usaha Dana Pensiun Merpati) dan PT Kirana Mitra Mandiri menagih utang pada PT MNA sebesar Rp 2,4 miliar.
“Apa yang terjadi 2018? Tiba-tiba nggak ada angin nggak ada hujan, Merpati dimohon PKPU oleh nilai utangnya cuma Rp 2,4 miliar,” imbuh Ery.
Menurut Ery, PKPU dijadikan dalih Direksi PT Merpati Nusantara Airlines sebagai penundaan pelunasan pesangon. Pasalnya dalam PKPU, PT MNA harus mencari investor dahulu agar bisa menerbitkan utang dengan jaminan dari investor tersebut untuk membayar sisa pesangon.
“Saya cuma minta klarifikasi. Apakah program yang mereka jalankan ada layoff karyawan, ada PKPU apakah sesuai dengan rencana restrukturisasi sdm. Tanya saja karena saya punya dokumen. Yang disebut PKPU bukan begitu caranya untuk PHK orang,” kata Ery geram.
Ery mengatakan, dalam audiensi tersebut ia juga tak memperoleh kepastian mengenai investor yang jadi persyaratan untuk melunasi pesangon dalam PKPU.
“Di dalam keputusan ini ada syaratnya Merpati harus hidup dulu. Kita tanya AOC (Air Operator Certificate) kapan? Nggak bisa jawab. Karena AOC ini tergantung adanya investor. Investor sebelumnya ada yang berani menggelontorkan uang Rp 6,4 triliun. Itu bukan uang kecil. Tapi sekarang investornya dipenjara,” ungkap Ery.
“Nah sekarang dia mulai mencari investor lain yang bisa menggelontorkan uang berapa. Tapi kalau ditanya mereka bilang ada, ada, ada. Tapi dia nggak sebut,” sambung Ery.