Jakarta, CNN Indonesia — Pemerintah memutuskan menanggung Pajak Penghasilan (PPh) 21 buruh manufaktur. Tak tanggung-tanggung, insentif ini diberikan selama enam bulan demi mengurangi tekanan pandemi virus corona. Lewat insentif ini, buruh manufaktur bisa membawa pulang gaji mereka lebih besar tanpa potongan pajak.
Sebetulnya, wajar apabila pemerintah memperlakukan sektor manufaktur sebagai anak emas. Sebab, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty menilai manufaktur menyerap banyak tenaga kerja. “Kalau pekerja sektor manufaktur bisa konsumsi, maka produksi juga jalan. Jadi, menggerakkan dua hal sekaligus,” ujarnya, Jumat (13/3).
Alasan lain, ia mengatakan dari sisi administrasi, data pekerja manufaktur lebih rinci dan jelas. Ini artinya ketika pengurangan atau diskon pajak diberikan, pemerintah bakal lebih mudah untuk menerapkan kebijakannya.
Berbeda halnya dengan sektor pertanian, pariwisata, dan lainnya yang dinilai secara administrasi masih menyulitkan.”Pabrik, biasanya datanya lebih lengkap jadi, tracking-nya lebih mudah,” imbuh dia.
Persoalannya, kebijakan ini lahir di tengah penolakan buruh terhadap omnibus law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja. Demo penolakan bahkan dilakukan di tengah wabah virus corona.
Tak heran, Telisa mengendus kebijakan insentif fiskal pemerintah bagi manufaktur sarat politis. “Secara politis, mungkin, ada keinginan untuk meredam juga (penolakan omnibus law),” jelasnya.
Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo menilai kebijakan pemerintah menggratiskan PPh 21 buruh manufaktur memang ‘nanggung’. Pasalnya, tingkat daya beli yang harus dijaga bukan cuma di kelompok pekerja manufaktur, tetapi juga sektor-sektor lainnya yang mengalami tekanan.
“Seharusnya diberikan saja ke semua sektor karena sebenarnya yang kena dampak virus corona juga ke sektor lain, terutama pariwisata, perhotelan, restoran, dan kuliner,” terang dia.
Khususnya, pekerja-pekerja yang masuk kategori kelas menengah ke bawah. Sebab, kebijakan gratis pungutan PPh 21 sejatinya hanya dirasakan oleh pekerja yang tak masuk kategori Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atau mereka dengan gaji di atas Rp4,5 juta per bulan atau Rp60 juta per tahun.
Sementara, mereka yang di bawah PTKP, memang tidak dipungut pajak. Namun, perlu diketahui, kelompok ini pun tidak mendapat insentif pajak. “Padahal, justru yang di bawah PTKP ini mesti mendapat insentif. Misalnya, bantuan langsung tunai atau cash transfer,” ungkapnya.
Karenanya, ia menilai pemerintah masih perlu mengeluarkan insentif baru, termasuk untuk merelaksasi beban pengeluaran pekerja di sektor non-manufaktur. Toh, kondisi ekonomi saat ini memang tertekan.
Di sisi lain, kekuatan APBN masih ada tercermin dari ruang defisit anggaran yang masih lebar. Tahun ini, pemerintah menargetkan defisit anggaran 1,8 persen dari PDB. Namun, batas maksimal defisit anggaran sebetulnya 3 persen dari PDB. Karenanya, selagi ruang defisit masih lebar, ia mendorong pemerintah menebar insentif.