0 0
Read Time:2 Minute, 4 Second

Merdeka.com – Pandemi Covid-19 mengancam pendapatan petani kecil kelapa sawit independen di Indonesia. Ini karena rendahnya harga tandan buah segar (TBS). Petani bersertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) bakan menemukan penjualan Kredit RSPO telah menyediakan dana tambahan dan dukungan yang dibutuhkan untuk melewati masa pandemi.

Penasihat Senior Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi), Rukaiyah Rafik, mengungkapkan bahwa selain harga TBS rendah, petani merasakan kesulitan karena baik pabrik kelapa sawit dan kegiatan manufaktur tidak berjalan. Hal itu terjadi karena pembatasan sosial skala besar (PSBB), namun harga pupuk tetap tinggi.

“Tetapi pembatasan pergerakan karena Covid-19 telah berdampak pada sumber mata pencaharian utama karena mereka tidak dapat menjual atau mengangkut TBS mereka ke pembeli. Pandemi juga mempengaruhi stok pupuk dan input untuk perkebunan petani serta harga makanan,” katanya di Jakarta, Kamis (18/6).

Rukaiyah menambahkan bahwa petani bersertifikat RSPO memiliki lembaga dan jaringan yang kuat untuk mendukung mereka, serta standar akuntabilitas. Dia menyebut para petani ini juga memiliki beragam bisnis atau tanaman selama pandemi, yang selanjutnya mendukung mata pencaharian mereka.

Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, menjelaskan bahwa pada satu titik selama pandemi, harga TBS turun di bawah Rp1.000 per kilogram (atau sekitar USD 0,07 per kilogram) di tingkat petani swadaya. Sementara itu, harga TBS untuk petani plasma (petani yang bermitra dengan perusahaan penghasil kelapa sawit) tercatat antara Rp1.200 per kg dan Rp1.300 (USD 0,08- USD 0,09) per kg.

“Harga di bawah Rp1.100 sulit bagi petani yang memiliki lebih dari dua anak, dengan anak mereka mengejar pendidikan tinggi, atau mereka yang memiliki anggota keluarga lain yang bergantung pada mereka, seperti orang tua mereka. Mereka juga memiliki beban hutang kepada para tengkulak karena para petani memiliki pinjaman, yang harus dilunasi selama panen,” katanya.

Dia menambahkan bahwa banyak petani kelapa sawit tidak memiliki sumber pendapatan lain dan hanya mengandalkan minyak sawit. Sebuah studi SPKS 2018 mengungkapkan bahwa hanya 30 persen petani yang memiliki mata pencaharian alternatif mulai dari pengolahan, penanaman karet, dan menjadi pedagang kecil.

Sementara itu, tanah yang di sisihkan selama era Orde Baru untuk petani PIR selama periode transmigrasi, yang mencakup 0,75 hektar, telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Darto juga mengatakan bahwa keadaan petani terpuruk karena kenaikan harga pupuk, yang kadang-kadang langka.

“Tidak ada protokol kesehatan untuk petani/ pemanen. Petani membutuhkan uang tunai sementara proses transaksi untuk TBS untuk petani yang menjual ke perusahaan biasanya diproses antara satu atau dua minggu setelah produk dikirim ke pabrik atau perkebunan,” katanya.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

By kspsi

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *