Jakarta – Pemerintah memberikan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Itu diatur di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2021 tentang JKP.
Ada sejumlah persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah agar buruh yang terkena PHK mendapatkan jaminan kehilangan pekerjaan. Hal itu diatur di pasal 4.
“Peserta terdiri atas: a. pekerja/buruh yang telah diikutsertakan oleh pengusaha dalam program jaminan sosial; dan b. pekerja/buruh yang baru didaftarkan oleh pengusaha dalam program jaminan sosial,” demikian bunyi ayat 1 dikutip detikcom, Senin (22/2/2021).
Dijelaskan dalam ayat 2, peserta sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus memenuhi persyaratan, yaitu warga negara Indonesia, belum mencapai usia 54 tahun pada saat mendaftar, dan mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha.
Selain persyaratan di atas, buruh yang bekerja pada usaha besar dan usaha menengah harus diikutsertakan pada program JKN, JKK, JHT, JP, dan JKM.
“Pekerja/buruh yang bekerja pada usaha mikro dan usaha kecil, diikutsertakan sekurang kurangnya pada program JKN, JKK, JHT, dan JKM,” demikian butir b ayat 3.
Ayat 4 menerangkan peserta program JKN merupakan pekerja penerima upah pada badan usaha.
Diterangkan dalam pasal 11, iuran program JKP wajib dibayarkan setiap bulan sebesar 0,46% dari upah sebulan.
Iuran sebesar 0,46% bersumber dari iuran yang dibayarkan oleh pemerintah pusat dan sumber pendanaan JKP.
Iuran yang dibayarkan oleh pemerintah pusat sebesar 0,22% dari upah sebulan. Sementara sumber pendanaan JKP merupakan rekomposisi dari iuran program JKK dan JKM.
“Manfaat JKP dapat diajukan setelah peserta memiliki masa iur paling sedikit 12 bulan dalam 24 bulan dan telah membayar iuran paling singkat 6 bulan berturut-turut pada BPJS Ketenagakerjaan sebelum terjadi pemutusan hubungan kerja atau pengakhiran hubungan kerja,” demikian bunyi pasal 19 ayat 3.
Diterangkan dalam pasal 20, manfaat JKP bagi peserta yang mengalami pemutusan hubungan kerja dikecualikan untuk alasan pemutusan hubungan kerja karena mengundurkan diri, cacat total tetap, pensiun, atau meninggal dunia.
Manfaat JKP bagi peserta yang hubungan kerjanya berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu diberikan apabila pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha dilakukan sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu.
Pemutusan hubungan kerja dibuktikan dengan:
a. Bukti diterimanya pemutusan hubungan kerja oleh pekerja/buruh dan tanda terima laporan pemutusan hubungan kerja dari dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
b. Perjanjian bersama yang telah didaftarkan pada pengadilan hubungan industrial dan akta bukti pendaftaran perjanjian bersama; atau
c. Petikan atau putusan pengadilan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
Dijelaskan dalam pasal 21 ayat 1, manfaat uang tunai diberikan setiap bulan paling banyak 6 bulan upah sebesar 45% dari upah untuk 3 bulan pertama, dan sebesar 25% dari upah untuk 3 bulan berikutnya.
“Upah yang digunakan sebagai dasar pembayaran manfaat uang tunai merupakan upah terakhir pekerja/buruh yang dilaporkan pengusaha kepada BPJS Ketenagakerjaan dan tidak melebihi batas atas upah yang ditetapkan,” demikian bunyi pasal 21 ayat 2.
Batas atas upah untuk pertama kali ditetapkan sebesar Rp 5 juta. Dalam hal upah melebihi batas atas upah maka upah yang digunakan sebagai dasar pembayaran manfaat uang tunai sebesar batas atas upah, dalam hal ini Rp 5 juta.
Jadi, berapa manfaat uang tunai yang diterima pekerja?
Jika mengambil asumsi batas atas upah di Rp 5 juta maka manfaat yang diterima pada 3 bulan pertama adalah 45 persennya atau Rp 2.250.000×3= Rp 6.750.000.
Lalu di 3 bulan berikutnya manfaat uang tunai yang diterima adalah 25 persennya atau Rp 1.250.000×3= Rp 3.750.000.
Dengan demikian, total manfaat uang tunai yang diterima selama 6 bulan adalah Rp 10.500.000. Itu dengan asumsi upah yang digunakan sebagai dasar pembayaran sebesar batas atas upah atau Rp 5 juta.