Merdeka.com – Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono memastikan persoalan ketenagakerjaan masih menjadi amunisi andalan untuk melakukan kampanye hitam terhadap industri kelapa sawit di kancah internasional. Khususnya terkait permasalahan yang menimpa kelompok pekerja perempuan dan anak.
“Jadi, masih banyak isu yang bernuansa kan ketenagakerjaan di sektor sawit yang kemudian menjadi alat untuk kampanye negatif,” ungkapnya dalam webinar bertajuk Perlindungan Pekerja Perempuan di Perkebunan Sawit, Selasa (23/3).
Dia mengungkapkan, sorotan akan persoalan ketenagakerjaan terhadap kelompok perempuan dan anak sendiri pertama kali disorot oleh dunia internasional sejak 2016 lalu. Saat itu, ada salah satu lembaga pemantau hak asasi manusia, Amnesty International yang mengendus adanya kerja paksa yang melibatkan anak-anak di perkebunan sawit.
“Itulah sebenarnya yang muncul 2016 kemudian beberapa isu lainnya muncul belakangan,” terangnya.
Dia menambahkan, persoalan ketenagakerjaan lainnya yang menyedot perhatian internasional adalah pelecehan seksual terhadap pekerja sawit perempuan, yang kemudian kembali digunakan sebagai alat untuk melakukan kampanye negatif terhadap industri sawit. Sebagaimana yang ramai diberitakan kantor media asing pada 2020 lalu.
“Amerika, bahkan sempat melarang sawitnya Malaysia karena dianggap perkebunan kelapa sawit di Malaysia itu melakukan kerja paksa terhadap anak dan pelecehan,” terangnya.
Oleh karena itu, Gapki bersama pemangku kebijakan terkait lainnya terus berbenah diri untuk mewujudkan sistem kerja di lingkungan industri dan perkebunan sawit yang lebih ramah terhadap kelompok perempuan dan anak. Sehingga pemenuhan hak terhadap dua kelompok pekerja rentan tersebut bisa lebih baik.
“Ini lah yang menjadi konsern kita di industri sawit Indonesia. Gapki sejak 3 tahun terakhir kita bekerja sama dengan CNV Internasional, Serikat Buruh Federasi Hukatan, bahkan ILO,” ucap dia menekankan.
AS Blokir Pengiriman Minyak Sawit
Sebelumnya, Amerika Serikat memblokir pengiriman minyak sawit dari FGV Holdings Berhad setelah temuan adanya kerja paksa, pekerja anak, serta kekerasan fisik dan seksual. Aturan ini efektif pada Rabu 30 September 2020.
Investigasi dilakukan oleh Associated Press dan menemukan adanya masalah upah, perbudakan, hingga dugaan perkosaan, bahkan ada yang melibatkan anak di bawah umur. Ada juga warga Rohingya juga diselundupkan dan dipaksa bekerja.
Produk minyak sawit dan turunannya dari FGV merupakan bagian dari supply chain bagi perusahaan-perusahaan multinasional seperti Nestle, L’Oreal, dan Unilever. Beberapa institusi keuangan di negara barat juga ada yang punya saham FGV.
Otoritas perdagangan AS ikut melakukan investigasi dan menemukan adanya eksploitasi. Beberapa di antaranya yakni pembatasan pergerakan, isolasi, kekerasan, menahan upah, mengikat dengan utang, kerja berlebian, dan potensi kerja paksa anak.
Para konsumen lantas diminta memikirkan asal produk minyak sawit mereka. “Kami ingin mendorong komunitas impor AS untuk melakukan due dilligence,” ujar Brenda Smith, executive assistant commissioner di Office of Trade di AS seperti dilansir AP News, Kamis (1/10/2020).
“Kami juga mendorong konsumer untuk bertanya terkait asal produk mereka,” Smith menambahkan.