Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menilai tuntutan kewajiban perkebunan rakyat sebesar 20% terlalu multitafsir. Aturan itu tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan untuk perusahaan yang memiliki lahan di atas 250 hektare.
Ketua Umum Gapki Joko Supriyono menyatakan kewajiban perkebunan dicantumkan dalam tiga aturan turunan. Hal ini yang membuat pemerintah dinilai menjadi tidak konsisten. “Kebijakannya over regulated,” kata Joko di Jakarta, Rabu (12/12).
Ketiga aturan itu antara lain berupa Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 98 Tahun 2013, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (Permen ATR) Nomor 7 Tahun 2017, serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 28 Tahun 2014.
Joko menjelaskan pernyataan yang berbeda pada tiap aturan juga membuat pengusaha kesulitan menerapkan aturan. Pada Permentan, fasilitas pembangunan kebun masyarakat minimal 20% dari Izin Usaha Perkebunan.
Sedangkan Permen ATR menyatakan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat minimal 20% dari Hak Guna Usaha (HGU). Sementara itu, Permen LHK meminta kewajiban 20% berasal dari luas areal yang dilepaskan dari kawasan hutan.
Oleh karena itu, pengusaha meminta pemerintah membentuk Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penyelenggaraan Usaha Perkebunan untuk mengatasi permasalahan tersebut. “Penting untuk kepastian hukum karena tuntutan kepada kami semakin besar,” ujar Joko.
Selain itu, dia menekankan ketersediaan lahan semakin kecil untuk ekspansi. Sehingga, Gapki mengusulkan program kemitraan bisa menjadi alternatif dalam mengembangkan kebun rakyat.
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang menegaskan bahwa aturan kewajiban 20% itu berdasarkan kepemilikan lahan pengusaha. Contohnya, ketika pengusaha meminta izin untuk 1000 hektare lahan, harus mengalokasikan 200 hektare lahan untuk mengembangkan lahan petani rakyat.
Namun, lahan untuk rakyat sebesar 200 hektare yang dikembangkan pengusaha, berada di luar izin yang diajukan. “Sejatinya aturan yang kami buat tidak menjadi beban karena tujuan utamanya kesetaraan,” kata Bambang.
Sementara terkait pembentukan PP, menurutnya hal itu sedang dalam proses harmonisasi dan sudah diserahkan kepada Kementerian Hukum dan HAM. Namun, aturan itu terkendala kepemilikan perusahaan yang membatasi hak asing hanya 49%.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, realisasi fasilitas pembangunan kebun masyarakat 2017 tercatat seluas 623.114 hektare, meningkat dari 2016 yang hanya 202.730 hektare.
Deputi Bidang Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud menjelaskan pemerintah sudah menyiapkan sejumlah aturan untuk memudahkan pelaku usaha perkebunan. Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang moratorium sawit bisa menjadi acuan pendataan laha perkebunan sawiy.
Musdhalifah menyebut Inpres bakal mempercepat pelaksanaan aturan selama 3 tahun dalam rangka mengevaluasi lahan sawit di Indonesia. “Semuanya kami harmonisasi karena tidak ada yang kontradiktif satu sama lain,” ujarnya.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Arie Sukanti mengungkapkan pemerintah harus membentuk PP sebagai tindak lanjut UU Perkebunan. Aturan baru juga harus melibatkan pelaku usaha yang terdampak oleh regulasi.
Contohnya, penjelasan tentang kewajiban pembangunan lahan 20% untuk petani rakyat. Kriteria petani swadaya pun mesti dipaparkan secara jelas dalam peraturan agar memberikan kepastian hukum.
Namun, Inpres hanya bersifat instruksi dari presiden kepada bawahannya dan tidak mengikat pihak ketiga. “Kewajiban pelaksanaan penyediaan pembangunan perkebunan masyarakat dalam PP harus segera dibuat dan memberikan pengaturan yang rinci,” kata dia.