0 0
Read Time:8 Minute, 56 Second

DAMPAK buruk pandemi Covid-19 terhadap ekonomi global sangat nyata, tidak terkecuali Indonesia, meski diprediksikan akan semakin membaik.

Selain angka pengangguran yang sangat besar, banyak pekerjaan dipastikan hilang, bahkan akan sulit pulih sekalipun pandemi ini berakhir. Akibatnya, mencari pekerjaan sulit dan mungkin akan semakin sulit.

Wirausaha menjadi salah satu solusi untuk mengatasi kesulitan keuangan karena tidak mempunyai pekerjaan (menganggur). Peluang berwirausaha terbuka lebar pada masa krisis, terutama dengan besarnya dukungan pemerintah.

Namun, tidak setiap orang tertarik dan memiliki tekad untuk memiliki dan menjalankan usaha sendiri. Sebagian orang tetap memilih menjadi karyawan dan karenanya akan tetap mengupayakan mendapatkan pekerjaan.

Hanya saja, dalam masa “normal” pun mendapatkan pekerjaan bagi sebagian besar orang tidak mudah, apalagi dalam masa pandemi seperti saat ini.

Tanpa ditambah dengan beban mencari pekerjaan, beban psikis orang pada umumnya pada masa pandemi Covid-19 ini sudah berat, termasuk kemungkinan mengalami kesulitan keuangan yang ditimbulkan oleh pengangguran.

Apalagi mencari pekerjaan memang seringkali menjadi pengalaman rumit karena, antara lain harus memikirkan seberapa besar upaya yang harus dilakukan, jenis pekerjaan apa yang bisa dilamar, saluran pencarian kerja mana yang akan digunakan padahal pilihan pekerjaan dan ketersediaannya seringkali terbatas.

Proses pencarian pekerjaan ini juga sangat melibatkan emosi akibat berbagai kesulitan yang dihadapi, misalnya penolakan atau kegagalan memenuhi syarat pekerjaan yang diharapkan, menunggu respons yang sangat lama terhadap lamaran kerja yang dikirimkan.

Selain itu, pencari kerja umumnya tidak mendapatkan umpan balik bila gagal dalam wawancara dan/atau prosedur seleksi calon karyawan lainnya, atau, seandainya pun diperoleh, malah berupa umpan balik negatif.

Sebagai akibatnya, pencari kerja rentan menjadi ragu-ragu, harga diri menurun, cemas, marah kepada diri sendiri dan terus menerus mengingat pengalaman yang tidak menyenangkan. Lebih jauh, pengalaman negatif selama mencari pekerjaan ini berbanding terbalik dengan kesehatan mental.

Dengan begitu, apa yang sebaiknya dimiliki dan dilakukan oleh para pencari kerja?

Secara khusus, pencari kerja dimaksud di sini bukan sedang bekerja dan mencari pekerjaan lain yang lebih baik atau lebih sesuai (fit) dengan karakteristik pribadi.

Yang disasar adalah seseorang yang pernah bekerja lalu menganggur baik karena terkena pemutusan hubungan kerja, dirumahkan atau memilih berhenti bekerja karena alasan tertentu.

Tulisan ini juga ditujukan bagi seseorang yang akan bekerja karena telah menyelesaikan pendidikan, agar mampu mengatasi pengalaman dan perasaan negatif. Terutama keputusasaan karena lamaran ditolak dan kemunduran pribadi akibat pengangguran dan proses pencarian kerja dan pada gilirannya sukses mendapat pekerjaan yang diharapkan, terutama pada masa pandemi ini.

Berikut sejumlah saran yang dirangkum dari berbagai hasil penelitian yang relevan dan patut dipertimbangkan.

Punya daya lenting hidup

Pandemi yang diakibatkan Covid-19 ini telah menuntut tiap orang, tidak terkecuali pencari kerja, untuk memiliki daya lenting hidup (resiliensi).

Daya lenting ini adalah kondisi kesehatan mental yang stabil meskipun terpapar stresor yang serius karena mampu mengatasi dan mengelolanya untuk meminimalkan tekanan psikologis.

Bahkan, sebagaimana disinggung sebelumnya, sumber tekanan yang dialami pencari kerja sangat mungkin banyak dan besar sehingga menjadi salah satu kelompok populasi dengan tingkat stress yang sangat tinggi.

Menurut Chen dan Bonanno (2020), daya lenting tergantung pada faktor risiko dan faktor protektif dalam diri individu, konteks keluarga dan karakteristik komunitas/masyarakat.

Karenanya, sangat perlu mengetahui kedua faktor tersebut. Terlepas dari tingkat keparahan kondisi/risiko yang dihadapi, sejumlah hal berikut sangat berperan untuk meningkatkan daya lenting yakni:

1.Faktor dari dalam diri antara lain menjaga optimisme, mendapat dukungan dan menjaga ikatan sosial, tetap mengetahui informasi terkini tanpa berlebihan mengkonsumsi media, menggunakan cara tertentu untuk bergembira dan tertawa, terutama mengasah dan meningkatkan selera humor (Hutapea, 2021), serta mengurangi perasaan terisolasi secara sosial dengan memanfaatkan komunikasi daring secukupnya;

2. Adapun dari konteks keluarga diharapkan ada kehangatan dan keakraban, komunikasi yang baik, dan kemampuan yang memadai dalam mengelola keuangan;

3. Adapun di tingkat komunitas perlu dijaga kohesi sosial yang lebih tinggi (Chen & Bonanno, 2020) semisal kepedulian antar tetangga.

Lebih dari pada semua ini, penyesuaian psikologis merupakan yang terpenting. Penyesuaian psikologis akan menjadi modal yang baik dalam menjalani banyak situasi dan kondisi yang sulit termasuk masa pandemi dan sesudahnya.

Strategi penanggulangannya juga akan bervariasi sesuai dengan situasi dan kondisi tersebut. Untuk itu, Chen dan Bonanno (2020) menyarankan pentingnya fleksibilitas sebagai strategi yang paling efektif.

Tentu saja yang dimaksudkan dengan fleksibilitas di sini bukan kerelaan mencari pekerjaan yang menyimpang jauh dari latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja sebelumnya (Vansteenkiste et al, 2016), melainkan bahwa dengan keluwesan.

Selain itu, pencari kerja akan menaruh perhatian penuh kepada tuntutan situasi yang berubah, memutuskan strategi yang sesuai dengan tutuntan tersebut lalu memonitor keberhasilan strategi yang diputuskan tersebut, mengevaluasi kembali dan mengubah strategi mengikuti perubahan situasi jika dibutuhkan (Chen & Bonanno, 2020).

Dengan begitu, pencari kerja akan semakin resilien (berdaya lenting) dan mampu menjalani semua proses mencari pekerjaan dan sangat besar kemungkinan berhasil mendapatkan pekerjaan.

Ulet mencari lowongan pekerjaan

Meski sedang dalam masa pandemi, lowongan kerja selalu ada walaupun tidak sama banyaknya seperti masa sebelum pandemi.

Sangat mungkin pencari kerja mengendurkan upayanya disebabkan adanya persepsi bahwa lowongan pekerjaan mengalami penurunan drastis selama pandemi.

Dalam masa awal Covid-19 dinyatakan oleh WHO sebagai pandemi global dan di Indonesia dinyatakan sebagai bencana nasional, persepsi tersebut memang benar.

Namun, dalam masa kenormalan baru (new normal) kondisi tersebut sudah mulai berubah, bahkan sudah dimulai sejak pertengahan tahun lalu hingga saat ini.

Penelitian Hensvik et al (2021) antara lain menemukan bahwa pencari kerja menurunkan intensitas pencarian pekerjaan selama periode Maret-Mei 2020.

Hal itu terjadi karena pencari kerja kurang menyadari atau meremehkan adanya peningkatan jangka pendek dalam pasar tenaga kerja sehingga kehilangan sejumlah peluang pencarian.

Pada saat sama, perusahaan juga merugi karena peluang untuk mendapatkan calon tenaga kerja yang kompeten menjadi kecil karena sedikitnya jumlah pelamar.

Jejaring sosial dan sumber informasi

Sangat banyak pencari kerja mendapatkan pekerjaan dengan menerapkan metode ini. Tentu yang dimaksudkan dengan optimal adalah kualitas kontak sosial yang dibangun, bukan semata-mata kuantitas dan lamanya kontak.

Jejaring sosial dimaksud mencakup kontak formal maupun informal. Jejaring sumber informasi bisa dari berbagai segmen, yakni tipe sosial seperti melalui pertemuan pribadi dan profesional, keluarga dan pertemanan.

Ada juga tipe formal seperti agen penyalur tenaga kerja, iklan lowongan pekerjaan, bursa kerja atau pameran lowongan kerja dan tentu saja sumber daring.

Secara khusus, pemanfaatan sumber informasi daring antara lain Facebook, Twitter dan LinkedIn serta intensitas pencarian berkaitan erat dengan kemungkinan mendapatkan panggilan wawancara kerja.

Termasuk dalam hal ini adalah mengupayakan ketersediaan koneksi internet yang memadai sebagai tuntutan dalam era teknologi informasi digital saat ini karena sangat membantu pencarian informasi kerja dan memelihara jejaring sosial.

Selain itu, penelitian Korpi (2001) dan hasil tinjauan Wanberg et al (2020) terhadap sejumlah penelitian menunjukkan bahwa relasi yang kuat dengan teman, kerabat dan kenalan, hingga jejaring sosial daring (online), selain memungkinkan lebih banyak tawaran pekerjaan dan juga mendapatkan sejumlah dukungan sosial yang dibutuhkan, antara lain dukungan informasional, dukungan instrumental, dan dukungan emosional.

Perasaan positif

Saat berupaya keras mendapatkan pekerjaan, perlu mengupayakan dan menjaga perasaan positif yakni perasaan yang menyenangkan. Misalnya saat memikirkan tentang mencari pekerjaan atau akan menjalani wawancara kerja sedapatkan mungkin tetaplah antusias, waspada dan bersemangat.

Perasaan positif tersebut terkait erat dengan upaya dan keberhasilan mendapatkan pekerjaan, terutama bila didukung dengan evaluasi terhadap kemampuan dan kontrol diri yang baik dan orientasi tujuan pembelajaran, yakni hasrat untuk mengembangkan diri dengan mendapatkan keahlian yang baru, mengatasi situasi yang baru dan meningkatkan kompetensi diri.

Perasaan positif ini menunjukkan adanya kemajuan berarti yang dilakukan yang pada gilirannya akan memperkuat harapan akan mendapatkan pekerjaan.

Meski demikian, perasaan negatif seperti gugup, stres dan tegang bukan berarti tidak bermanfaat.

Perasaan semacam ini juga penting karena memberi petunjuk tentang kurangnya kemajuan dan perlunya upaya mengatasi kesenjangan antara kondisi saat ini dan tujuan yang diharapkan.

Welas asih diri

Welas asih diri atau berbelas kasih kepada diri sendiri (self-compassion) sebagai perasaan positif sangat berperan terhadap perilaku mencari pekerjaan dan hasilnya.

Pencari kerja sangat mungkin berada dalam situasi kecewa karena belum ada kemajuan yang berarti dalam upaya pencarian kerja, belum ada tanda-tanda akan mendapatkan pekerjaan ditambah lagi pada saat yang sama bisa saja mengalami kesulitan keuangan yang berat.

Perlu diingat bahwa welas asih diri tidak dimaksudkan sebagai perasaan iba atau kasihan kepada diri sendiri karena menganggap diri sendiri sebagai korban dari situasi atau ketidakmampuan menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Akan tetapi, welas asih diri ini berfungsi sebagai strategi penanggulangan yang berfokus pada emosi yang adaptif.

Tentu saja, welas asih diri tidak akan mengubah situasi ini secara langsung namun dengan menahan akibat negatif dari pengalaman mencari kerja maka dimungkinkan untuk memiliki pola pikir yang membantu mengatasi pengalaman negatif tersebut selama masa mencari pekerjaan.

Siap mental dan fisik

Untuk menghadapi wawancara dalam rangka seleksi calon tenaga kerja, pencari kerja sangat penting mempersiapkan diri secara fisik maupun mental, terutama kemampuan mengelola kesan.

Tak hanya dalam wawancara kerja yang dilakukan dengan tatap muka tapi juga wawancara secara daring.

Di antaranya, berdasarkan sejumlah penelitian yang ditinjau oleh Wanberg dkk adalah mempromosikan diri secara wajar yang dilandasi kejujuran, alih-alih kebohongan agar tidak menjadi bumerang; memuji dan menyenangkan hati orang lain misalnya dengan humor, kehangatan dan rasa persahabatan secara wajar dan tulus; serta memberikan alasan, pembenaran dan permintaan maaf juga secara wajar dan secukupnya.

Tak lupa, perilaku non-verbal juga perlu diperhatikan, antara lain kontak mata, senyuman, gerak tubuh, jabatan tangan (hanya jika diperlukan dan dimungkinkan di masa pandemi), waktu berbicara, menjawab pertanyaan atau memberi tanggapan, posisi duduk yang tegak dan nyaman, volume suara yang memadai, variasinya dan kejelasan artikulasi, hingga kepantasan dan formalitas pakaian.

Perlu bimbingan dan konseling karier

Jika mungkin, secara khusus bagi pencari kerja yang masih muda misalnya mahasiswa tahap akhir, penting untuk mendapatkan bantuan dari seorang konselor karier dalam menyusun perencanaan karier dan kemampuan mengambil keputusan, memahami tren pasar tenaga kerja dan membuat pilihan pekerjaan setelah memperoleh informasi yang jelas (Malchiodi, 2004).

Juga dimungkinkan adanya pembimbingan dari seorang mentor berpengalaman (mentoring) yang sangat bermanfaat sebagai sumber daya eksternal yang membantunya dalam regulasi diri berupa:

a. pembimbingan karier yakni panduan bagaimana meningkatkan strategi kognitif dalam menampilkan perilaku mencari pekerjaan tertentu;

b. pembimbingan psikososial yang memberikan dukungan emosional agar terbuka dalam membicarakan masalah karier. Terutama perlunya mengubah sifat suka menunda (prokrastinasi) sesuai dengan hasil penelitian van den Hee et al (2020) yang menunjukkan bahwa sifat ini berbanding lurus dengan lamanya mendapatkan pekerjaan dan pencarian kerja secara serampangan serta berbanding terbalik dengan banyaknya mendapatkan panggilan wawancara kerja.

Sebagaimana kemiskinan, pengangguran juga sungguh merupakan sebuah tragedi dalam peradaban sebagaimana dikatakan Carlos Saavedra Lamas dalam kutipan di awal, mengingat dampaknya yang meluas dan mendalam baik terhadap semua aspek kehidupan baik kesehatan fisik dan psikis (kesehatan mental), ekonomi, hukum, sosial maupun politik.

Mencari pekerjaan dalam situasi sulit terutama pada masa pandemi saat ini bila diumpamakan seperti mencari jarum pada tumpukan jerami memang ada benarnya.

Namun tidak perlu ditanggapi dengan reaksi psikologis yang berlebihan dan perilaku yang negatif sebab tetap saja terbuka peluang untuk mendapatkan pekerjaan karena lowongan pekerjaan tetap tersedia meski dalam jumlah terbatas.

Hanya saja diperlukan upaya lebih serius yang dilandasi kesiapan fisik dan psikis serta sejumlah faktor pendukung sebagaimana yang sudah diuraikan di atas.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

By kspsi

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *