KONTAN.CO.ID – Belum lama ini, Direktur Pengembang Investasi BPJS Ketenagakerjaan (atau BP Jamsostek), Edwin Ridwan menyatakan bahwa investasi BP Jamsostek di saham dan reksa dana ada floating loss (atau unrealized loss, atau potensi kerugian) sebesar Rp 23 triliun (KONTAN, April 2021). Nilai nominal potensi kerugian BP Jamsostek ini merupakan yang tertinggi dalam sejarah keuangan Indonesia.
Wajar bila Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Febrie Adriansyah bertanya: “Kalau kerugian bisnis, apakah analisanya selemah itu sampai 3 tahun bisa merugi Rp 20 triliun?”
Untuk memahami besarnya potensi kerugian ini, perlu dilihat dari konteks yang relevan.
Pertama, dana kelolaan BP Jamsostek juga sangat besar, Rp 490 triliun per Februari 2021. Maka potensi kerugian tersebut sekitar 4,7% dari total dana kelolaan. Dari perspektif portofolio investasi, dengan imbal hasil deposito dan Surat Berharga Negara rata-rata di atas 5% per tahun, maka kerugian ini dengan mudah diselesaikan dalam waktu setahun melalui investasi yang sangat konservatif dan imbal hasilnya pasti.
Kedua, mempertimbangkan kualitas portofolio investasi penyebab kerugian, maka potensi kerugian BP Jamsostek juga relatif terbatas. Mayoritas investasi BP Jamsostek dalam 34 saham, sekitar 98%, adalah saham anggota indeks LQ45 berkapitalisasi terbesar dan kinerjanya baik.
Misal, kontribusi utama rugi portofolio saham BP Jamsostek berasal dari saham-saham: Astra International (ASII), PT Perusahaan Gas Negara (PGAS), PT Telkom Indonesia (TLKM), dan PT Unilever Indonesia (UNVR). Semuanya saham-saham unggulan di sektornya.
Berdasarkan laporan keuangan BP Jamsostek 2018, harga perolehan saham ASII, PGAS, TLKM, dan UNVR dalam portofolio Jaminan Hari Tua (JHT) adalah masing-masing Rp 8.310, Rp 4.863, Rp 4.304, dan Rp 9.716 per sahamnya.
Harga saham PGAS mencapai titik tertinggi pada tahun 2013. Sedangkan harga saham ASII, TLKM, dan UNVR, mencapai titik tertinggi historis pada tahun 2017. Harga keempat saham tersebut kemudian mengalami koreksi signifikan dalam periode 2018-2021.
Per akhir Maret 2021, saham-saham ASII, PGAS, TLKM, dan UNVR milik BP Jamsostek tersebut masing-masing mengalami kerugian harga sekitar 36%, 73%, 21%, dan 32%.
Meski harga saham mengalami koreksi tajam, keempat perusahaan memiliki pendapatan dan laba yang sangat besar. Di tahun 2020, pendapatan perusahaan ASII, PGAS, TLKM, dan UNVR masing-masing Rp 175 triliun, Rp 43 triliun, Rp 144 triliun, dan Rp 43 triliun. Sedangkan akumulasi laba ASII, PGAS, TLKM, dan UNVR dalam periode 2018-2020, masing-masing mencapai Rp 65,5 triliun, Rp 6,4 triliun, Rp 57,2 triliun, dan Rp 23,7 triliun.
Maka koreksi harga saham ASII, PGAS, TLKM, dan UNVR ini sebagian besar karena perubahan persepsi investor atas harapan dan kinerja perusahaan. Perubahan persepsi ini dapat menjadi momentum berkelanjutan dalam waktu lama (tiga sampai lima tahun), apalagi bila disertai kondisi ekonomi yang memburuk karena penyebaran wabah Covid-19.
Dengan laba yang besar, terlepas dari dinamika harga saham dan kondisi ekonomi, keempat perusahaan tersebut rutin membagikan dividen setiap tahun. Dividen ini tentunya menjadi salah satu tambahan imbal hasil investasi BP Jamsostek.
Saham Jiwasraya
Bandingkan investasi saham pilihan BP Jamsostek dengan saham pilihan Jiwasraya yaitu: PT Inti Agri Resources (IIKP). PT Jiwasraya berinvestasi mencapai Rp 6,4 triliun pada saham IIKP. Padahal saham IIKP hanya memiliki rata-rata aset dan pendapatan masing-masing sekitar Rp 350 miliar dan Rp 20 miliar. Sepanjang 2014-2018, IIKP selalu merugi, dengan akumulasi kerugian mencapai Rp 83 miliar. Wajar bila potensi kerugian di saham IIKP dapat disamakan dengan kerugian total.
Saham-saham pilihan lain PT Jiwasraya juga memiliki kinerja fundamental yang buruk, seperti PT Sugih Energy (SUGI), PT Trikomsel Oke (TRIO), dan PT Eureka Prima (LCGP). Keempat saham ini saat ini terancam delisting dari Bursa Efek Indonesia, yang menyebabkan kerugian total bagi investornya.
Ketiga, meski harga saham jangka pendek sangat fluktuatif ditentukan oleh persepsi investor dan penawaran atau permintaan pasar, namun dalam jangka panjang pemulihan harga saham sejalan dengan perbaikan kinerja dan prospek perusahaan. Contoh ekstrem juga ada di portofolio saham BP Jamsostek sendiri, yaitu saham PT Aneka Tambang (ANTM) dan PT Vale Indonesia (INCO).
Pada akhir tahun 2010, harga saham ANTM dan INCO masing-masing Rp 2.330 dan Rp 4.875 per saham. Selama lima tahun, periode 2011 – 2015, harga saham ANTM dan INCO mengalami koreksi masing-masing 87% dan 72%. Sebuah unrealized loss yang sangat luar biasa untuk perusahaan ternama yang punya rekam jejak baik dalam jangka panjang. Baru pada akhir 2020 harga saham ANTM dan INCO pulih kembali ke harga seperti di 2010, atau sekitar 10 tahun.
Dinamika harga-harga saham yang luar biasa ini, khususnya akibat koreksi tajam Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ke 4.500 (sekitar 35%) per akhir Maret 2020, dapat menjelaskan besarnya potensi kerugian investasi saham BP Jamsostek yang saat itu mencapai Rp 43 triliun. Sejalan pemulihan IHSG diatas 6.000, maka potensi kerugian tersebut berkurang menjadi Rp 23 triliun.
Dalam berinvestasi saham, harus difahami benar bahwa fluktuasi harga saham jangka pendek-menengah (1-5 tahun) sangat didominasi oleh faktor persepsi dan psikologis investor atas tren harga saham. Pergerakan harga saham seperti ini tidak memiliki korelasi kuat dengan faktor fundamental atau kinerja perusahaan, seperti: pendapatan, laba, dan arus kas.
Sedangkan bagi investor institusional yang profesional, keputusan investasi saham harus berdasarkan kajian fundamental, manajemen risiko, dan kepatuhan yang komprehensif. Investasi saham juga dilakukan dalam jangka panjang (diatas 5 tahun), dimana faktor fundamental (kinerja perusahaan) semakin berperan dalam menentukan harga-harga saham.
Meneliti portofolio saham BP Jamsostek, proses investasi yang baik ini berjalan, sehingga unrealized loss yang terjadi bisa diterima sebagai risiko