Merdeka.com – Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi fokus pemerintah saat ini, salah satunya mewujudkan tenaga kerja yang kompeten melalui pelatihan vokasi. Sayangnya, pengembangan SDM ini tidak semudah seperti membangun infrastruktur. Sejumlah permasalahan dari penyerapan tenaga kerja pun masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah.
Direktur Deregulasi Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Yuliot mengakui bahwa jumlah penyerapan tenaga kerja dari investasi yang masuk ke Indonesia terus mengalami penurunan. Angka penurunan ini juga terlihat sejak 2013 hingga 2018 lalu.
Sejak 2013 hingga 2014 secara rata-rata penyerapan tenaga kerja melalui investasi dari PMDN dan PMA sekitar 1,4 juta orang. Kemudian di 2018 kemarin angkanya justru kembali mengalami penurunan yakni hanya mencapai 930-an ribu orang.
“Kita lihat bukan hanya untuk penciptaan lapangan kerja tapi gimana ini masyarakat bisa jadi pelaku usaha juga. Kita kombinasikan seperti tu,” kata dia.
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menerangkan, di era pemerintah Jokowi ini yang menjadi persoalan bukanlah susahnya mencari lapangan pekerjaan namun justru masalah ketimpangan skill atau kemampuan. Saat ini jumlah angkatan kerja Indonesia ada 131 juta orang, di mana 58 persennya adalah lulusan SD dan SMP.
“Jadi diibaratkan ada 10 orang, diambil 58 persen berarti 6 orang lulusan SD dan SMP. Nah, masih masih 4 kan, dan missed match kerja (tak sesuai antara pekerjaan dengan pendidikan atau skillnya) kita di atas 50 persen. Berarti 2 orang missed match dan 2 orang lagi yang pendidikan dan skill sesuai dengan pasar kerja,” urai Hanif.
Dia mencontohkan untuk kebutuhan tenaga kerja di wilayah Jakarta. Di wilayah ini banyak perusahaan baru yang bergerak di industri e-commerce atau yang berbasis digital. Hanya saja dalam kenyataannya untuk mencari SDM sesuai kebutuhan tidaklah mudah.
Maka dari itu, dalam beberapa tahun belakangan ini pemerintah tengah memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. Salah satu yang diperkuat adalah sistem pendidikan vokasi yang siap kerja.
Selain itu, untuk mengatasi ketimpangan skill atau kemampuan ini, pemerintahan Jokowi coba melakukan sejumlah kebijakan. Di antaranya dengan mengeluarkan kartu pra kerja.
“Ketimpangan skill (ketrampilan) ini yang mendasari pemerintah mengeluarkan kartu pra kerja untuk akses penguatan pendidikan vokasi dan pelatihan kerja agar lebih siap menghadapi kebutuhan pasar kerja,” jelasnya.
Meski demikian, program ini menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Seperti Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, rencana ini tidak efektif. Menurutnya, Indonesia masih memiliki masalah penyerapan tenaga kerja yang masih belum ideal.
“Program memberikan upah kepada pengangguran khususnya lulusan SMK tidak efektif. Permasalahan utama saat ini ada di serapan tenaga kerja yang belum ideal. Lapangan kerja industri, pertanian dan pertambangan kurang mampu menciptakan lowongan kerja yang masif,” kata Bhima.
Menurutnya, salah satu penyebab ketimpangan antara skill yang diperoleh SMK dengan industri karena kurikulum di SMK masih banyak mengajarkan teori dibandingkan praktik. Selain itu, masih belum adanya kejelasan mengenai praktik magang.
“Jadi magang ya hanya magang, padahal magang itu bagian penting dari SMK. Makanya saya usulkan pertama dari kurikulum harus banyak dosen atau guru praktisi bukan guru sekolah umum yang mengajar. Jadi mereka yang sudah punya pengalaman ke industri, dunia usaha, pariwisata itu yang mengajar ke anak2 SMK. Sehingga relevan kebutuhan dunia usahanya, dengan lapangan kerjanya,” jelasnya.
Sementara untuk permagangan, dia mengusulkan agar pemerintah melanjutkan program magang dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin).
“Misalkan sentra otomotif yang ada di Karawang itu menyerap anak magang dari SMK, lalu diberikan sertifikat, lalu diberikan uang saku itu harusnya diinstitusionalkan atau dilembagakan oleh kebijakan pemerintah sehingga program magang jadi masif,” ungkapnya.
Selain itu, Balai Latihan Kerja (BLK) juga harus diperbaiki. Menurutnya, masih banyak BLK yang belum memenuhi standar. Hal ini tentunya bisa mempengaruhi kualitas pelatihan tenaga kerja di Indonesia.
“BLK ada 300 lebih tapi banyak yang masih belum memenuhi standar. Misalnya mesinnya ada tapi instrukturnya tidak ada, atau sebaliknya. Jadi perlu upgrading BLK dan itu butuh biaya yang tidak sedikit. Makanya saya usulkan BLK yang dimiliki pemda itu dilakukan revitalisasi secara masif,” tandasnya. [azz]