Merdeka.com – Ekonom UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja mengatakan nilai tukar rupiah diperkirakan tahun 2022 akan terdepresiasi secara bertahap (gradually depreciate) terhadap dolar AS karena arus keluar modal yang moderat seiring kenaikan suku bunga The Fed.
“Mungkin di paruh kedua tahun depan (2022) dan seiring dengan volatilitas yang masih ada ditambah dengan faktor resiko ada mutasi dari varian-varian baru, kemungkinan menyebabkan nilai tukar kita akan terus menuju kearah yang lebih lemah tapi masih terjaga dengan baik karena aliran dana asing pun kami rasa masih akan baik,” kata Enrico dalam webinar UOB Economic Outlook 2022, Rabu (15/9).
Enrico memprediksi nilai tukar rupiah berada dikisaran Rp 14.650 sampai Rp 14.850 per USD untuk akhir tahun 2021. Namun, dengan berangsurnya kembali meningkatnya impor Indonesia seiring dengan pemulihan pertumbuhan ekonomi Indonesia, dia menyebut depresiasi secara bertahap akan mencapai Rp 15.000 di tahun depan.
“Maka Sangat mungkin bahwa gradual depreciation ini akan mencapai kisaran Rp 15 ribuan di tahun depan,” katanya.
Namun, dengan adanya reformasi yang sudah berlangsung pada saat ini yang seperti contohnya omnibus law dan juga undang undang Cipta kerja beserta dengan adanya Sovereign wealth fund, dia percaya net FDI atau investasi real di Indonesia ini akan masuk untuk menutup adanya current account deficit yang mungkin akan melebar secara perlahan namun pasti kedepannya.
“Konsep yang dinamakan basic balance ini akan semakin bertumbuh menjadi positif ini akan memberikan jangkar yang positif dan baik untuk stabilisasi nilai tukar dan bahkan Rupiah ke depannya pun diharapkan mampu untuk menguat,” ujarnya.
Kendati demikian, Enrico memprediksi perekonomian Indonesia di tahun 2022 akan lebih baik dan diharapkan bisa tumbuh dikisaran 5 persen atau lebih tinggi, sehingga bisa keluar dari keterpurukan di tahun 2020 lalu.
“Kami melihat bahwa tahun depan 2022 adalah tahunnya Indonesia, di mana kita diharapkan akan bertumbuh 5 persen atau lebih tinggi keluar dari keterpurukan tahun 2020. Di mana kita mengalami kontraksi dan berangsur-angsur pulih ke angka 3,5 persen di tahun 2021,” pungkasnya.