0 0
Read Time:6 Minute, 29 Second


Merdeka.com – Istilah Omnibus Law pertama kali dicetuskan Presiden Jokowi saat Pidato pelantikan presiden dan wakil presiden di Senayan pada 20 Oktober 2019 lalu. Kala itu Presiden Jokowi mengatakan pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan UU Cipta Lapangan Kerja dan menggabungkan sejumlah undang-undang terkait dalam satu undang-undang alias Omnibus Law.

Presiden Jokowi saat itu mengatakan Omnibus Law akan menyederhanakan aturan atau regulasi yang menghambat investasi. Namun, Rancangan Undang-Undang Omnibus Law menuai polemik, khususnya dari para buruh. Yang jadi sorotan terkait isu penghapusan pesangon dan beberapa lainnya. Berikut ulasannya:

Ombudsman Kritik Pemerintah Terlalu Tertutup Bahas Omnibus Law
Anggota Ombudsman RI, Alamsyah Saragih mengkritik pemerintah yang terkesan tertutup dalam membahas Omnibus Law. Alamsyah mengatakan, banyak pihak termasuk akademisi sulit mengakses isi Omnibus Law tersebut.

“Saya khawatir karena pemerintah tidak membuka pembahasan Omnibus law ini ke banyak pihak, akademisi,” ujar Alamsyah di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Sabtu (21/12).

Menurut Alamsyah, pembahasan Omnibus Law malah dilakukan dengan penerima manfaat yaitu para pengusaha dan Kadin. Dia nilai langkah ini berbahaya.

“Pembahasan lebih banyak ke dunia pengusaha yang kita tahu ga semua pengusaha itu oke, sebagian pengusaha adalah broker bukan really investor bukan really pelaku. Jangan sampai menyimpang,” jelas Alamsyah.

Dia menjelaskan, pihak-pihak yang ingin mengakses isi Omnibus Law harus menandatangani permohonan persetujuan. Pihak yang memohon untuk akses Omnibus Law itu diminta merahasiakan isinya.

“Jadi menurut saya jangan cara-cara kolonial begitu ya ga ada orang yang mau gagalkan Omnibus Law, semua orang perlu, tapi jangan sampai Omnibus Law dibahas sepihak oleh penerima manfaat, Kadin,” kata Alamsyah

“Kalau pemerintah mau menggelar konsultasi publik lebih balance pihak-pihak lain, termasuk Ombudsman itu lebih baik,” sambungnya.

Pertemuan Tertutup dengan Elite Politik
Selasa 14 Januari 2020 lalu, Presiden Jokowi melakukan pertemuan tertutup di Istana Negara, dengan para elite politik. Salah satunya membahas mengenai Omnibus Law.

Dalam acara itu, hadir antara lain Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh, Plt Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.

Selain Johnny, sejumlah sekretaris jenderal partai turut serta, antara lain Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dan Sekjen PPP Arsul Sani. Sejumlah wakil ketua DPR RI juga ikut dalam diskusi tersebut. Namun Ketua DPR RI Puan Maharani tidak hadir dalam acara tersebut.

Berharap Omnibus Law Segera Rampung
Disahkannya peraturan Omnibus Law harus melalui mekanisme pembahasan dan disetujui oleh DPR bersama-sama dengan pemerintah. Karena itu, Presiden Jokowi mendorong DPR dapat menuntaskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law maksimal dalam waktu 100 hari. Menurutnya, Omnibus Law dibutuhkan lantaran pemerintah ingin mempercepat transformasi ekonomi domestik.

“Kita sudah sampaikan ke DPR, mohon ini bisa diselesaikan maksimal 100 hari. Saya angkat jempol saya, dua jempol ini kalau DPR bisa menyelesaikan ini dalam 100 hari,” ujar Presiden Jokowi dalam Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan (PTIJK) di Ritz-Charlton Hotel, Jakarta, Kamis (16/1).

Sementara itu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Fraksi NasDem, Willy Aditya mengatakan, cepat tidaknya hal tersebut tergantung dari pemerintah.

“Bolanya justru bukan di DPR bolanya justru dari pemerintah dan ini adalah sesolid apa draf RUU yang dikirim oleh pemerintah. Itu poinnya,” kata Willy di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/1).

Willy mengatakan, saat ini terdapat empat RUU omnibus law yang diajukan pemerintah, yaitu omnibus law cipta lapangan kerja, perpajakan, Ibu kota Negara (IKN) dan Farmasi. Kemudian, muncul wacana omnibus law keamanan laut. Willy pun juga ingin pemerintah serius menyelesaikan itu.

“Kalau DPR tentu sesuai dengan spirit pemerintah mengapresiasi itu. Tetapi prosesnya tidak cukup dengan diskursus atau wacana. Manis di bibir tetapi begitu praktiknya compang camping,” tuturnya.

Pasal Kontroversi
Dalam draf rancangan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang diterima merdeka.com terdapat 11 klaster antara lain; penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan pemberdayaan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset & inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah dam kawasan ekonomi.

Salah satu yang menjadi sorotan publik yakni terkait rumor tentang rancangan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja klaster ketenagakerjaan khususnya terkait penghapusan pesangon. Salah satu yang menolak adalah buruh.

Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah membantah pemerintah akan menghilangkan pesangon dalam Omnibus Law. Menurutnya, isi Omnibus Law akan disampaikan oleh Kementerian Koordinator bidang Perekonomian.

“Enggak. Enggak benar pesangon dihilangkan,” Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa (14/1).

Sementara itu, dalam draf yang diterima merdeka.com terkait rancangan Omnibus Law klaster ketenagakerjaan soal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), mengatakan jika karyawan di PHK tetap mendapat kompensasi PHK.

Berikut isi lengkapnya

Pokok Kebijakan terkait pemutusan hubungan kerja (PHK):

– Tetap memberikan perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK
– Pekerja yang terkena PHK tetap mendapatkan kompensasi PHK.

Penjelasan:

a. Pemerintah menambahkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK.
b. JKP memberikan manfaat berupa: 1) Cash Benefit, 2) Vocational Training, 3) Job Placement Access.
c. Penambahan manfaat JKP, tidak menambah beban iuran bagi pekerja dan perusahaan.
d. Pekerja yang mendapatkan JKP, tetap akan mendapatkan jaminan sosial lainnya yang berupa: 1)Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), 2)Jaminan Hari Tua (JHT), 3)Jaminan Pensiun (JP), 4)Jaminan Kematian (JKm).

a. Untuk memberikan perlindungan bagi pekerja kontrak, diberikan perlakuan dalam bentuk kompensasi pengakhiran hubungan kerja.

Ditolak Buruh
Rancangan Omnibus Law yang di dalamnya mengubah aturan skema upah per bulan menjadi per jam menimbulkan pertentangan konstitusi. Baik itu UUD 1945 maupun UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal pengupahan. Oleh karenanya, buruh menolak skema upah per jam.

“Dengan ditetapkannya (skema upah per jam) itu, sudah dipastikan Indonesia tidak lagi memiliki upah minimum sebagai jaring pengamanan kepastian upah,” ujar Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) utusan dari KSPI, Iswan Abdullah, di Jakarta, Sabtu (28/12).

Adanya perubahan skema upah per jam, menurut Iswan, akan membuat keberadaan UMP terkikis dan perlahan akan menghilang. Perusahaan dikhawatirkan akan bersikap semena-mena atas upah yang diberikan pada pekerja. Kemudian akan berdampak pada masyarakat miskin absolut.

Jaminan sosial yang diberlakukan atas adanya standar UMP, dipastikan akan ditiadakan. Hal itu terjadi karena pengusaha merasa tidak lagi memiliki tanggung jawab atas pembayaran jaminan sosial lagi.

“Kalau ini (upah per jam) berlaku, maka jaminan sosial akan hilang beban perusahaan untuk membayar itu. Karena standarnya UMP,” jelas Iswan.

Hal itu, Iswan mengkhawatirkan, akan ada defisit jaminan sosial yang berlaku di Indonesia. Seperti BPJS Kesehatan. “Defisit BPJS Kesehatan karena pengusaha tidak mendaftarkan pegawainya,” tutup Iswan.

Sementara itu, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, skema gaji per jam tidak berlaku untuk seluruh buruh dan aparatur negara. Skema itu ditujukan untuk sektor jasa seperti konsultan dan pekerja paruh waktu.

“Kalau pekerja pabrik tetap gaji bulanan,” kata Menko Airlangga di Kantornya, Jakarta Pusat, Jumat (27/12).

Menko Airlangga menjelaskan, pekerja yang sudah menerima gaji bulanan tak akan terimbas wacana ini. Mereka akan tetap dibayar sesuai dengan upah minimum yang ditetapkan.

Buruh Demo Tolak Omnibus Law
Buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR, pada Senin (20/1), untuk menyuarakan penolakan terhadap Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja.

DPR pun menerima perwakilan buruh yang berdemo menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, DPR sepakat dengan buruh untuk membentuk tim kecil.

“Saya sudah berjanji kepada kawan-kawan buruh untuk memfasilitasi mereka ke pimpinan komisi IX, komisi terkait dan baleg untuk membuat suatu tim kecil untuk melakukan diskusi dan berkoordinasi agar apa-apa yang jadi hambatan di UU Cipta Lapangan Kerja ini bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan presiden,” ujar Dasco usai pertemuan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (20/1).

Dasco menyebut, penolakan buruh terhadap UU Cipta Lapangan Kerja baru sebatas mendapatkan informasi dari Menko Perekonomian dan Menaker melalui pernyataan di media. DPR sendiri belum menerima naskah akademik. Kabarnya, kata Dasco, naskah akademik itu akan dikirim pemerintah hari ini.

“Poin-poin itu kan mereka ambil berdasarkan statement dari menko perekonomian Kemenperin yang ada di media beserta menaker. Kita sendiri kan baru baca UUnya pada hari ini atau besok,” kata dia.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

By kspsi

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *