Merdeka.com – Pakar ekonomi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Suryanto mengingatkan pemerintah akan bahaya resesi yang menghantui Indonesia di akhir kuartal II tahun 2020. Salah satu kemungkinan dampak buruknya yaitu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran.
“Ancaman resesi ekonomi Indonesia dan resesi ekonomi global adalah nyata. Kalau ekonomi global mengalami resesi, maka pasar ekspor akan mengalami gangguan. Dan giliran berikutnya adalah kebangkrutan dunia usaha serta diikuti oleh PHK besar-besaran,” ujar Suryanto, Senin (20/7).
Indikator penurunan investasi masuk ke Indonesia juga dikhawatirkan akan menyebabkan jumlah uang beredar di Indonesia berkurang. Sejumlah indikator tersebut di antaranya, pertumbuhan ekonomi yang negatif pada kuartal II dan tren ekonomi kuartal III dan IV yang sangat bergantung pada kondisi perekonomian global.
Belum adanya titik terang kapan pandemi Covid-19 akan berakhir, menurutnya, menjadi tantangan berat bagi perekonomian Indonesia di kuartal II tahun ini. Dia mengkhawatirkan hal tersebut membuat perekonomian Indonesia tidak bisa leluasa bergerak.
“Untuk mengantisipasi ancaman tersebut, sangat diperlukan usaha pemerintah dalam meningkatkan ketahanan pangan nasional bagi masyarakat,” katanya.
Kegiatan produksi akan terganggu menyebabkan penurunan pendapatan masyarakat. Jika pendapatan menurun akan menyebabkan perekonomian menjadi lesu.
“Indonesia harus memperkuat sektor-sektor primer terutama sektor pertanian untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Dengan kekuatan ekonomi lokal maka masyarakat tidak terlalu bergantung pada ekonomi global,” lanjut Suryanto.
Sektor Terdampak
Selain itu, Suryanto juga menyebut sejumlah sektor yang kemungkinan merasakan dampak paling signifikan jika resesi benar-benar melanda Indonesia, misalnya sektor jasa pariwisata.
Menurutnya, keputusan yang diambil pemerintah memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mengakibatkan pariwisata menjadi sektor yang berpeluang terdampak serius. Walau demikian, ada sejumlah sektor yang dia sebut meraup untung di tengah pandemi Covid-19. Misalnya, jasa komunikasi penyedia jaringan, seperti Zoom, Meet, dan Webex.
Terkait pernyataan Bank Dunia yang menyebut Omnibus Law dapat mendongkrak ekonomi Indonesia di tengah pandemi Covid-19, Suryanto menerangkan omnibus law sifatnya cuma dapat mempermudah perizinan.
Baginya, selama masa pandemi Covid-19, hambatan investor bukanlah karena masalah kemudahan menjalankan usaha tetapi karena ekspektasi investor yang masih ragu kondisi kapan Covid-19 akan berakhir.