Bisnis.com,JAKARTA- Para pengusaha menginginkan aturan ketenagakerjaan bisa lebih fleksibel sehingga mendorong perlunya revisi UU Ketenagakerjaan.
Pengacara dari firma Dentos HPRP, Sartono mengatakan bahwa pengusaha memang menginginkan fleksibilitas dalam berbagai hal mengenai ketenagakerjaan seperti syarat dan ketentuan perjanjian kerja. Mereka, kata dia, mau diberi ruang negosiasi terhadap beberapa ketentuan
“Dari sisi ketenagakerjaan, pengusaha akan menghitung gaji dan tunjangan, lalu kalau ada pengurangan tenaga kerja, ada angkanya. Mereka, para pengusaha ini mau ini fleksibel karena selama ini ketika ada karyawan langgar kerja, ketika mau PHK ada proses yang harus dijalankan di Disnaker dan mereka harus terus membayar,” ujarnya, pekan lalu.
Begitu pula jika suatu perusahaan ingin hengkang dari suatu negara, para pengusaha mesti membayar pesangon kepada para pekerja yang dikalikan dengan masa kerja. Hal ini menurutnya, tidak menarik bagi kalangan usaha sehingga mereka ingin ada pengaturan lebih lanjut terkait hal-hal seperti itu.
“Belum lagi kalau ada aksi mogok kerja yang bisa berhari-hari, bisa memberikan kerugian bagi pengusaha. Mereka ingin jika ada aksi ilegal, maka bisa PHK tanpa pesangon. Fleksibilitas inilah yang mereka ingin dibicarakan,” ucapnya.
Constan Ponggawa, Managing Partner Dentons HPRP mengatakan bahwa pengusaha selalu menghitung risiko investasi, termasuk mengenai masalah ketenagakerjaan. Karena itu, jika tenaga kerja tidak menunjukkan kinerja yang baik, maka pengusaha, apalagi investor asing ingin mengganti tenaga kerja tersebut.
“Karena itu harus ada ukurang yang jelas misalkan setelah diberhentikan dapat gaji maksimum selama tiga bulan. Sesudah itu jangan ribut lagi. Pengusaha itu punya pinjaman di bank yang harus dibayarkan cicilannya setiap bulan sehingga mereka ingin performa yang baik dari tenaga kerja,” tuturnya.
Sebagaimana diketahui, para pengusaha aktif menjalin komunikasi dengan pemerintah untuk mendesak revisi UU tersebut. Pada Selasa (9/7/2019), mereka bersua dengan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor untuk menyampaikan usulan perubahan tersebut.
“Kami dengan Menaker [Menteri Ketenagakerjaan] sepaham, ada enam isu pengupahan, pesangon, outsourcing, fleksibilitas jam kerja, serikat pekerja-buruh, tenaga kerja asing. Kira-kira itu isu yang akan kami bahas bersama dengan serikat pekerja,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia, Hariyadi Sukamdani.
Adapun, poin pertama yakni konsep pengupahan dinilainya tidak sejalan dengan kondisi saat ini. Dia mengungkapkan sejumlah perusahaan, terutama perusahaan padat karya tidak bisa diikuti oleh sejumlah perusahaan.
“Kenyataan di lapangan, yang patuh pada upah minimum itu relatif hanya perusahaan menengah besar. Yang menengah kecil tidak bisa mengikuti. Ini kan enggak bagus ya. Artinya ini bergeser dari jaring pengaman sosial menjadi upah rata-rata,” jelasnya.
Hal yang sama juga terjadi pada konsep pengupahan, dia mengemukakan banyak tenaga kerja juga tidak bisa mendapatkan hak yang selayaknya karena kondisi perusahaan.
“Kalau pesangon kan ada yang tumpah tindih ya. Tumpah tindih karena dulu waktu UU 13 dibikin kita belum ada jaminan sosial yang seperti sekarang ya, Belum ada BPJS. Jadi seperti BPJS dan pensiun itu belum di-cover,” ujarnya.
Oleh karena itu, para pengusaha menginginkan ada formulasi yang jelas mengenai penghitungan pesangon sesuai dengan kondisi saat ini.
Untuk poin outsourcing, Hariyadi menjelaskan para pengusaha menginginkan agar jumlah sektor yang bisa dimasuki bisa ditambahkan dari saat ini yang hanya lima sektor.
“Kita mereferensi Vietnam, sekarang udah 20 sektor yang di aturan mereka mengenai outsourcingnya ya. Kalau kita kan lima [sektor]. Tentunya di sini kita harus kembalikan lagi bahwa outsourcing itu suatu bisnis model, dan itu gak bisa diatur secara rigid,” tambahnya.