0 0
Read Time:7 Minute, 50 Second

Pekerja kantoran terlihat ‘cuek’ dalam menyikapi RUU Cipta Kerja. Alasannya karena ada yang menganggap RUU itu hanya berdampak ke buruh manufaktur, lalu karena tak ada wadah untuk bersuara, dan memang karena ada yang tidak peduli.

Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja memunculkan penolakan yang berujung aksi demonstrasi di kalangan kelompok pekerja ‘kerah biru’ atau yang bekerja di sektor manufaktur.

Di sisi lain, belum terlihat ada reaksi dari pekerja kerah putih atau kantoran, yaitu pekerja terdidik. Padahal, jika RUU itu disahkan, semua jenis dan kelas pekerjaan akan terdampak langsung.

Pemerintah Indonesia kini melakukan sosialisasi RUU Cipta Kerja ke publik dan mengatakan masih terbuka ruang pembahasan dan dilakukan perubahan.

BBC News Indonesia mewawancarai beberapa pekerja ‘kantoran’ terkait pandangannya mengenai RUU Cipta Kerja.

Susi, pekerja perbankan nasional, mengungkap tidak ingin tahu tentang RUU Cipta Kerja dan dampaknya.

Ia hanya pernah mendengar dari teman kerja bahwa “mau ada peraturan kerja pertiga tahun, sudah itu selesai, jadi tidak ada jaminan apa-apa,” katanya.

Ia pun cuek saja usai mendengar selentingan kabar tersebut dan tidak ingin mencari tahu.

Sikap cuek Susi akibat dari pengalaman masa lalunya yang dipecat oleh perusahaan nasional besar padahal statusnya sudah sebagai karyawan tetap. Perusahaan, katanya, melakukan pemecatan dengan alasan efisiensi.

“Katanya mau efisiensi. Divisi saya akan diperkecil. Tapi ujung-ujungnya itu alasan saja karea dia juga mencari penganti saya. Cuma posisi saya diganti jadi kontrak, bukan lagi tetap,” ujar Susi.

Saat ditanya langkah apa yang ditempuh atas keputusan pemecatan itu, Susi menjawab “males ribut, cari kerja lagi saja, walaupun saya tahu itu sebenarnya bisa diperjuangkan.”

“Saya tidak tahu bagaimana caranya bersuara”

Susi mengungkapkan posisi pekerja di Indonesia sangat lemah. “Kasarnya, tidak usah loyal 100% ke perusahaan, kalau ada kesempatan go head lah, sekarang kerja di atas lima tahun saja sudah bagus.”

Berbeda dengan Susi, pekerja swasta lain di Jakarta, Citra menyadari jika RUU Cipta Kerja akan menciptakan ketidakpastian atas pekerjaannya.

“Saya kan masih kontrak, jadi ada peluang bagi perusahaan lebih sewenang-wenang atas kontrak saya, jadi tidak memberikan kepastian bagi pekerja seperti saya,” kata Citra.

Citra berkata mau bergerak dan bersuara untuk menolak RUU Cipta Kerja untuk disahkan. “Tapi masalahnya, saya tidak tahu dimana saya bisa bersuara karena di tempat saya kerja tidak ada wadah untuk berserikat,” katanya.

Saat ditanya mengapa pekerja kantoran cenderung pasif atas RUU ini, menurut Citra karena “selain tidak adanya wadah untuk bersuara, semakin tinggi level pekerjaan dan ekonomi maka semakin individualis. Itu yang saya lihat di lingkungan saya,” katanya.

Susi dan Citra adalah sedikit cerminan sikap pekerja kantoran yang disebut Ketua Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Ellena Ekarahendy “masa bodoh” dalam menyikapi RUU Cipta Kerja.

Menurut Ellena sikap pekerja kantoran itu disebabkan karena mereka merasa RUU Cipta Kerja hanya akan berdampak pada pekerja manufaktur. “Padahal, sebenarnya ke semua lini jenis pekerjaan, termasuk kerja kantoran,” kata Ellena.

“Teman-teman kelas menengah yang upah di atas Rp5 juta merasa aman dan diam saja. Tapi setelah RUU ini disahkan, posisinya akan sangat terancam,” katanya.

Apa ‘ancaman’ dari RUU Cipta Kerja bagi pekerja kantoran?

Ancaman pertama yang muncul akibat dari RUU Ciptak Kerja menurut Ellena adalah pekerja kantoran bisa dikontrak seumur hidup karena tidak ada kewajiban perusahaan mengangkat jadi pegawai tetap.

Hal itu ditunjukan dengan dihapusnya Pasal 59 dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 59 ayat 1 berbunyi “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu….”

Ayat 4 menegaskan “Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.”

“Pasal itu melindungi pekerja agar diangkat jadi karyawan tetap, tapi dihapus. Akibatnya pekerja bisa dikontrak seumur hidup, permanently temporary,” kata Ellena.

Pasal yang ‘mengancam’ dalam RUU Cipta Kerja

RUU Cipta Kerja

Dihapus

UU Tenaga Kerja:

Pasal 59: (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurutjenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu.

Dampak:

Dengan dihapuskannya pasal ini, kerja kontrak bisa diterapkan di semua jenis pekerjaan.

  • Tidak ada batasan waktu, sehingga kontrak bisa dilakukan seumur hidup. Sehingga pekerja tetap akan semakin langka.
  • Karena statusnya kontrak kerja, bisa dengan mudah di PHK.
  • Tidak ada lagi pesangon, karena pesangon hanya untuk pekerja tetap.

RUU Cipta Kerja

Dihapus

UU Tenaga Kerja:

Pasal 66: (1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

Dampak:

Dengan dihilangkannya ketentuan ini, maka outsourcing bisa dilakukan bebas di semua jenis pekerjaan.

RUU Cipta Kerja

Pasal 88 B: Upah ditetapkan berdasarkan: a. satuan waktu; dan/atau b. satuan hasil.

UU Tenaga Kerja:

Tidak ada

Dampak:

Upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu, berpotensi menjadi dasar perhitungan upah per jam.

RUU Cipta Kerja

Pasal 88 C: (1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi.

UU Tenaga Kerja:

Tidak ada

Dampak:

Pasal ini sangat berbahaya, karena menghilangkan upah minimum kabupaten/kota dan upah minimum sektoral.

RUU Cipta Kerja

Pasal 154 A: (1) Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan: a. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan; b. perusahaan melakukan efisiensi.

UU Tenaga Kerja:

Tidak ada

Dampak:

Pasal ini sangat berbahaya, karena pengusaha bisa melakukan PHK hanya karena alasan melakukan efisiensi.

Potensi PHK ‘besar-besaran’

Status karyawan kontrak, menurut Ellena, berpotensi menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara semena-mena, dengan alasan kontrak habis.

Selain itu, potensi PHK besar-besaran juga, menurut Ellena, berpotensi terjadi karena munculnya pasal karet dalam RUU Cipta Kerja, yaitu Pasal 154 A dimana salah satu alasan pemutusan hubungan kerja dapat terjadi dengan alasan efisiensi.

“Selama ini efisiensi selalu jadi kedok perusahan melakukan pemecatan semena-mena. Di Omnibus Law malah dilegitimasi dan dipertegas,” kata Ellena.

Senanda dengan itu, Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar S. Cahyono mengungkapkan kata efisiensi memiliki tafsir yang abu-abu.

“Hanya dikatakan perusahaan melakukan efisiensi. Itu tafsir fleksibel, dengan alasan melakukan penghematan, saya bisa melakukan PHK,” ujarnya.

‘Outsourcing sebebas-bebasnya’

Kahar menambahkan dampak lain bagi pekerja kantoran adalah mereka bisa menjadi pegawai outsourcing karena hilangnya Pasal 66 yang mengatur alih daya atau outsourcing.

“Dulu outsourcing hanya boleh digunakan sebagai sector pekerjaan penunjang seperti operator telepon, satpam, tenaga pembersih. Tapi dengan dihapusnya Pasal 66, maka semua jenis pekerjaan, semua lini produksi, tanpa ada batas bisa outsourcing,” kata Kahar.

Pasal 66 ayat 1 berbunyi ‘Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.”

Pasal tersebut dalam RUU Cipta Kerja dihapus.

“Sudah capek-capek dan mahal-mahal sekolah, begitu masuk kerja tidak akan lagi kepastian. Orang bisa gampang di-PHK, bisa diberi upah murah, dan dikontrak seumur hidup,” kata Kahar.

Logika linier dalam RUU Cipta Kerja

Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, Tadjudin Nur Effendi menilai ada logika tidak tepat kurangnya analisis teori akademis dalam penyusun RUU Cipta Kerja.

“Presiden selalu mengeluh bahwa perizinan, perlindungan hukum menyebabkan investor tidak mau masuk. Maka untuk memudah dibuat UU luar biasa Omnibus Law. Tapi menurut teoritis, investor datang bukan hanya tentang itu,” kata Tadjudin.

Menurutnya, pemerintah harus juga mempertimbangkan faktor politik, masyarakat, keterampilan pekerja dan lainnya. Sehingga, tidak bisa, kata Tadjudin, berfikir secara linier.

“Kalau buruh demo terus, apa investor mau masuk? Kalau tidak ada infrastruktur seperti listrik dan tenaga terampil, apa mau masuk? Kan tidak. Jadi bukan hanya hukum tapi dari situasi sosial, politik infrastruktur dan lainnya,” kata Tadjudin.

Apa kata pemerintah tentang RUU Cipta Kerja?

Pemerintah membantah jika RUU Cipta Kerja akan mengancam jaminan pekerjaan, kepastian pendapatan dan sosial.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan tujuan utama RUU Cipta Kerja fokus untuk menciptakan lapangan kerja kepada pengangguran yang mencapai tujuh juta orang.

Senada, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah membantah jika RUU Cipta Kerja menghilangkan upah minimun dan pesangon bagi pekerja.

Ida menambahkan RUU Cipta Kerja bukan draf final, artinya masih terbuka ruang untuk pembahasan dan dilakukan perubahan.

“Namanya saja draf RUU Cipta Kerja. Ruang masih terbuka. Kan biasa setelah ada draf, diakses masyarakat, DPR, dan dibahas bersama di DPR. Ruang dialog yang kami buka kami manfaatkan sebanyak mungkin,” kata Ida.

Apa kata pengusaha tentang Omnibus Law?

Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kadin DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan, pengusaha kini menunggu sosialisasi dari pemerintah mengenai isi dan tafsir dari RUU Cipta Kerja.

Ia pun meminta agar semua pihak berkepentingan, terutama pekerja untuk menyampaikan keluhannya dalam ruang formal dan media dialog.

“Akan lebih elok kalau kita berkomunikasi dengan institusi resmi, sekarang draf sudah di DPR, ayo kita berdialog dibandingkan demo dan unjuk rasa.” kata Sarman.

Ia berharap RUU Cipta Kerja bukan hanya berfokus pada kepastian dan jaminan pada para pekerja, tapi juga kepastian bagi pengusaha dan investor.

“Kami dari pengusaha siap menunggu saja. Kami berharap RUU ini memberikan kepastian bagi dunia usaha, bagi investor,” kata Sarman.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah angkatan kerja pada Februari 2019 sekitar 130 juta orang. Dengan jumlah pekerja informal sekitar 74 juta, dan pekerja formal berjumlah 55 juta orang.

Rata-rata upah pekerja berpendidikan universitas adalah Rp4,34 juta, sedangkan buruh berpendidikan SD ke bawah sebesar Rp1,73 juta.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

By kspsi

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *