BEKASI, KOMPAS.com – Kasus pemutusan hubungan kerja ( PHK) karyawan PT Jalantol Lingkarluar Jakarta (JLJ), anak usaha PT Jasa Marga (Persero) Tbk, berbuntut panjang.
Corporate Communication & Community Development Group Head PT Jasa Marga (Persero) Tbk Dwimawan Heru mengungkapkan, PHK Mirah Sumirat telah dilakukan pada April 2019.
“Keputusan yang menyangkut hubungan kerja antara JLJ dengan mantan karyawan, sudah dikeluarkan pada 18 April. Dan itu sudah melalui semua prosedur sesuai dengan peraturan perundangan,” kata Dwimawan saat konferensi pers di Bekasi, Kamis (9/1/2020).
Heru menambahkan, jika yang bersangkutan keberatan dengan keputusan tersebut sebaiknya menempuh jalur hukum dan bukan melakukan pengerahan massa.
Bersamaan dengan konferensi pers hari ini, Mirah Sumirat yang juga menjabat sebagai Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia melakukan aksi unjuk rasa bersama dengan ratusan anggota gabungan serikat buruh di kantor pusat PT JLJ.
“Kami juga menyesalkan aksi ini dilakukan di fasilitas pelayanan publik. Karena ini adalah kantor oprasional JLJ yang juga diguni para petugas layanan jalan tol,” ucap Heru.
Menurut kuasa hukum PT JLJ Jhon Girsang, keputusan PHK terhadap mantan karyawan PT JLJ telah sesuai dengan peraturan perundangan.
Mirah disebut telah meninggalkan tanggung jawab pekerjaan pada waktu dan hari kerja.
“Bukan hanya sehari, seminggu, setiap bulan itu ada,” ungkap Jhon. Pelanggaran kedua yang dilakukan Mirah adalah menolak untuk melakukan medical check up (MCU).
Jhon menuturkan, proses ini wajib dilakukan seluruh karyawan PT JLJ, karena mayoritas karyawannya sering terpapar gas karbon monoksida.
“Ternyata Mirah Sumirat tidak bersedia melakukan medical check up, padahal biaya sudah dibayar ke rumah sakit,” ucap Jhon.
Jhon juga menyebut pemecatan Mirah tidak berhubungan dengan kegiatannya di organisasi serikat karyawan.
Mengingat beberapa pelanggaran yang telah dilakukan Mirah, Jhon mengatakan PT JLJ telah mengirimkan surat pemecatan kepada President UNI Apro Women’s Committee tingkat Asia Pasifik.
“Dengan terpaksa, surat PHK diterbitkan pada April 2019 dan diberikan kepada yang bersangkutan sesuai data perusahaan,” ujar dia.
Tetapi Mirah menyanggah hal tersebut. Menurutnya, surat pemecatan itu tidak pernah sampai ke tangannya.
“Jika perusahaan menyampaikan sudah mengirim surat (PHK) ke rumah, tanyakan siapa yang menerima. Karena di rumah saya cuma saya dan suami berdua saja, dan tidak ada yang menerima,” jelas Mirah.
Dia mengaku belum pernah menerima konseling atau pun skorsing. PT JLJ juga disebut telah mentransfer uang sebesar Rp 116 juta kepada Mirah bulan April lalu 2019.
Dalam aksinya, Mirah juga menuntut PT JLJ agar membayarkan hak 300 karyawan yang masih menggantung dan belum dibayarkan sejak 2015.
Selain itu, dia juga menolak adanya pemindahan karyawan secara paksa ke perusahaan lain tanpa ada surat tugas dan batasan waktu yang jelas.
“Kalau dipindahkan ke PT (perusahaan) lain itu namanya di-PHK,” kata Mirah.
Menanggapi tudingan tersebut, Jhon membantah isu pemaksaan bekerja. Menurutnya penugasan yang dimaksud berdasarkan kebutuhan.
“Bahwa kita bekerja secara profrsional, bersedia ditempatkan di mana saja. Tetapi dalam hal penugasan, ada penugasan berdasarkan kebutuhan, jadi isu pemaksaan tidak benar,” tuntas Jhon.