Yogyakarta, CNN Indonesia — Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyesali sikap pemerintah pusat yang memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi buruh atau pekerja gaji di bawah Rp 5 juta per bulan dengan ketentuan peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan.
Hal tersebut disampaikan KSPSI DIY saat menggelar aksi unjuk rasa di halaman Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY, Selasa (15/9).
Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) KSPSI DIY, Irsad Ade Irawan, menganggap kebijakan tersebut diskriminatif karena pada dasarnya semua buruh atau pekerja terkena dampak pandemi Covid-19.
“Pekerja atau buruh yang bergaji di bawah Rp 5 juta, baik yang sudah maupun belum tercatat sebagai peserta aktif BPJS K pada prinsipnya harus tetap memiliki hak yang sama dalam mendapatkan BLT pemerintah,” tegas Irsad, Selasa (15/9).
Irsad memperkirakan sekitar 534.820 buruh di DIY berpotensi tak akan menerima bantuan tersebut mengingat dari 902.543 buruh yang tercatat di DIY, baru sekitar 367.723 orang yang terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.
“Pekerja atau buruh yang belum terdaftarkan merupakan tanggung jawab perusahaan untuk mendaftarkan mereka,” sambungnya.
Selain mempersoalkan pemberian BLT bagi buruh yang dianggap diskriminatif, unjuk rasa KSPSI DIY juga menyoroti perusahaan-perusahaan yang menggunakan pandemi sebagai alasan memotong upah pekerja secara sepihak, tanpa transparansi akuntabilitas keuangan perusahaan.
Padahal berdasarkan pasal 57 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015, pada intinya pemotongan upah hanya boleh dilakukan pengusaha jika sesuai perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau peraturan kerja bersama untuk ganti rugi, ataupun uang muka upah.
“Kami berpendapat bahwa alasan pemotongan upah pekerja atau buruh akibat perusahaan merugi sebagai dampak pandemi Covid-19 itu tidak berdasarkan hukum dan dapat menimbulkan perselisihan hubungan industrial, yaitu perselisihan hak,” anggapnya.
Terkait kekhawatiran pemotongan upah oleh perusahaan dengan dalih pandemi Covid-19, Aria menyampaikan pihaknya akan menindaklanjuti aspirasi tersebut. Hanya saja, ia meminta para buruh dapat menyajikan data yang rigid dan valid agar memudahkan follow up pengawasannya.
Sedangkan menyangkut Omnibus Law RUU Cipta Kerja, Aria tak berkomentar banyak.
“Beberapa waktu lalu, kami bersama dengan DPRD DIY juga menerima dari beberapa serikat pekerja terkait perjuangan mereka [menolak] Omnibus Law,” tuturnya.
Menanggapi aspirasi terkait BLT atau Bantuan Subsidi Upah (BSU), Kepala Disnakertrans DIY Aria Nugrahadi menjelaskan pihaknya hanya memiliki kewenangan untuk menyampaikan sosialisasi dan mengoptimalkan bantuan. Sedangkan pelaksanaannya diserahkan kepada BPJS Ketenagakerjaan.
“Kenapa melalui BPJS Ketenagakerjaan? Karena datanya yang dianggap oleh pemerintah paling valid dalam kondisi sekarang untuk menyalurkan bantuan itu,” papar Aria.
Meskipun sebenarnya, ungkap Aria, BPJS Ketenagakerjaan itu tidak didesain untuk penyaluran BSU melainkan untuk pembayaran premi dan klaim asuransi saat terjadi kecelakaan kerja. Namun, data yang dikantongi BPJS Ketenagakerjaan dianggap paling valid dan memudahkan untuk pemindahbukuan dalam penyaluran BSU.
Terkait kekhawatiran pemotongan upah oleh perusahaan dengan dalih pandemi Covid-19, Aria menyampaikan pihaknya akan menindaklanjuti aspirasi tersebut. Hanya saja, ia meminta para buruh dapat menyajikan data yang rigid dan valid agar memudahkan follow up pengawasannya.
Sedangkan menyangkut Omnibus Law RUU Cipta Kerja, Aria tak berkomentar banyak.
“Beberapa waktu lalu, kami bersama dengan DPRD DIY juga menerima dari beberapa serikat pekerja terkait perjuangan mereka [menolak] Omnibus Law,” tuturnya.