Jakarta – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) resmi menerapkan pemberian upah berbasis per jam di Undang-undang (UU) Cipta Kerja. Ada kriteria khusus bagi pekerja yang akan mendapatkan upah dengan skema itu.
Direktur Pengupahan Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI JSK) Kemnaker, Dinar Titus Jogaswitani mengatakan pemberian upah berbasis per jam hanya berlaku bagi pekerja paruh waktu yang kurang dari 30 jam selama satu minggu, atau kurang dari 7 jam dalam satu hari. Sedangkan yang di atas waktu itu tetap diberlakukan upah formal atau bulanan.
“Jadi upah per jam ini memang hanya diperuntukkan bagi pekerja yang bekerja paruh waktu, di mana paruh waktu data dari BPS adalah kurang dari 30 jam seminggu atau kurang dari 7 jam dalam satu hari sehingga tidak dimungkinkan ada lembur. Sehingga upah lembur untuk pekerjaan normal yang waktunya lebih dari itu, kalau upah per jam hanya untuk jam-jam itu saja,” kata Dinar dalam Talk Show tentang Pengupahan secara virtual, Selasa (2/3/2021).
Dinar menjelaskan besaran upah per jam ditentukan atas kesepakatan antara pemberi kerja dan pekerja. Namun hitungan formulanya tidak boleh kurang dengan yang ada di Pemerintah Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan pasal 16, yakni upah per jam sama dengan upah sebulan yang kemudian dibagi 126. Angka 126 muncul dari keputusan Kemnaker.
“126 ini adalah upah seminggu 29 jam dikali dalam satu tahun ada 52 minggu. Artinya menghitungnya 52 minggu dalam satu tahun dikali satu minggu 29 jam, hasilnya dibagi 12 bulan maka ketemu lah 126. Ini kenapa dikalikan 29 jam dalam seminggu, karena tadi sudah sampaikan di data BPS paruh waktu itu di bawah 35 jam artinya rata-rata se-Indonesia bisa 24-30 jam itu median tertinggi,” imbuhnya.
Dinar menyebut angka 126 itu tidak menutup kemungkinan akan berubah dalam beberapa tahun mendatang jika memang jam kerja paruh waktu mengalami perubahan.
“Bisa nanti suatu saat kalau ada perubahan mungkin bisa,” jelasnya.