Jakarta, CNBC Indonesia – Rancangan Undang-Undang Omnibus law cipta lapangan kerja belum resmi dirilis pemerintah tapi buruh sudah turun ke jalan, memprotes payung hukum tersebut. Mereka bahkan sudah menyampaikan penolakan pada hal-hal substansi dalam ‘bocoran’ omnibus law versi para buruh.
Buruh menilai omnibus law bukan cara terbaik untuk meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja. Sebaliknya, omnibus law merupakan cara terbaik untuk menghancurkan kesejahteraan para pekerja. Elemen serikat buruh sudah melancarkan aksi demo pada Senin (13/1) di gedung DPR.
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan berdasarkan pernyataan Menteri Perekonomian dan Menteri Ketenagakerjaan Airlangga Hartarto, Said Iqbal mencatat, setidaknya ada enam hal mendasar yang disasar omnibus law. Namun, apa yang disampaikan Said Iqbal belum merujuk pada draf resminya.
Pertama, ada upaya menghilangkan upah minimum. Menurut Iqbal dampak terburuk yang secara langsung dirasakan buruh adalah hilangnya upah minimum. Hal ini, terlihat, dari keinginan pemerintah yang hendak menerapkan sistem upah per jam. Dengan kata lain, pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, maka upahnya otomatis akan di bawah upah minimum.
Belum lagi ketika pekerja sakit, menjalankan ibadah sesuai kewajiban agamanya, cuti melahirkan; maka upahnya tidak lagi dibayar karena pada saat itu diaggap tidak bekerja.
“Memang, ada pernyataan yang mengatakan jika pekerja yang bekerja 40 jam seminggu akan mendapat upah seperti biasa. Sedangkan yang di bawah itu menggunakan upah per jam,” kata Iqbal dalam pernyataan resminya, Selasa (14/1).
Menurutnya, hal ini hanya akal-akalan. Sebab dalam praktik, akan sangat mudah bagi pengusaha untuk menurunkan jam kerja, sehingga pekerja tidak lagi bekerja 40 jam.
Iqbal bilang penerapan yang berbeda seperti ini adalah bentuk diskriminasi terhadap upah minimum. Upah minimum adalah upah minimum; berlaku bagi semua warga negara yang bekerja sebagai jaring pengaman. Tidak ada dua istilah, misalnya upah minimum bulanan dan upah minimum per jam.
Di Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan, tidak boleh ada pekerja yang mendapatkan upah di bawah upah minimum. Jika itu dilakukan, sama saja dengan kejahatan. Pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum bisa dipidana.
“Karena itu, berdasarkan uraian di atas, sangat terlihat jika pemberian upah per jam adalah mekanisme untuk menghilangkan upah minimum. Karena ke depan akan banyak perusahaan yang mempekerjakan buruhnya hanya beberapa jam dalam sehari,” tegasnya.
Kedua, ada upaya menghilangkan pesangon. Iqbal menganggap pemerintah mencoba menggunakan istilah baru dalam omnibus law, yakni tunjangan PHK yang besarnya mencapai 6 bulan upah.
Ia menegaskan bahwa di dalam UU No 13 Tahun 2003; sudah diatur mengenai pemberian pesangon bagi buruh yang ter-PHK. Besarnya pesangon adalah maksimal 9 bulan, dan bisa dikalikan 2 untuk jenis PHK tertentu, sehingga bisa mendapatkan 18 bulan upah. Selain itu, mendapatkan penghargaan masa kerja maksimal 10 bulan upah, dan penggantian hak minimal 15% dari toal pesangon dan/atau penghargaan masa kerja.
“Dengan kata lain, pesangon yang sudah diatur dengan baik di dalam UU 13/2003 justru akan dihilangkan dan digantikan dengan istilah baru, tunjangan PHK yang hanya 6 bulan upah. Padahal sebelumnya, buruh berhak mendapatkan hingga 38 bulan upah lebih,” ujarnya.
Ketiga, fleksibilitas pasar kerja/penggunaan outsourcing dan buruh kontrak diperluas. Iqbal menuturkan dalam omnibus law, dikenalkan istilah fleksibilitas pasar kerja.
“Kita menafsirkan, istilah fleksibilitas pasar kerja adalah tidak adanya kepastian kerja dan pengangkatan karyawan tetap (PKWTT). Dalam hal ini, outsourcing dibebaskan di semua lini produksi,” katanya.
“Jika di UU 13/2003 outsourcing hanya dibatasi pada 5 jenis pekerjaan, nampaknya ke depan semua jenis pekerjaan bisa dioutsoursing-kan. Jika ini terjadi, masa depan buruh tidak jelas. Sudahlah hubungan kerjanya fleksibel yang artinya sangat mudah di PHK, tidak ada lagi upah minimum, dan pesangon dihapuskan.”
Keempat, soal isu tenaga kerja asing (TKA) tak terlatih. Menurutnya terkait TKA, dalam UU 13/2003, penggunaan TKA harus memenuhi beberapa persyaratan. Antara lain, TKA hanya boleh untuk pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tertentu. TKA yang tidak memiliki keterampilan khusus (unskill workers) tidak diperbolehkan bekerja di Indonesia. Jenis pekerjaannya pun adalah pekerjaan tertentu yang membutuhkan keahlain khusus yang belum banyak dimiliki pekerja lokal, seperti akuntansi internasional, maintenance untuk mesin teknologi tinggi, dan ahli hukum internasional.
Selain itu, waktunya dibatasi. Dalam waktu tertentu, misalnya 3 – 5 tahun, dia harus kembali ke negaranya. Hal yang lain, setiap TKA harus didampingi oleh pekerja lokal. Tujuannya adalah, supaya terjadi transfer of job, dan transfer of knowledge, sehingga pada satu saat nanti pekerja Indonesia bisa mengerjakan pekerjaan TKA.
Menurutnya dalam omnibus law ada wacana, semua persyaratan tadi dihapus. Sehingga TKA bisa bebas sebebas-bebasnya bekerja di Indonesia. Hal ini, tentu saja akan mengancam ketersediaan lapangan kerja untuk orang Indonesia. Karena pekerjaan yang mustinya bisa ditempati oleh orang lokal diisi oleh TKA.
Kelima, Jaminan Sosial Terancam Hilang
“Dengan skema sebagaimana tersebut di atas, jaminan sosial pun terancam hilang. Khususnya jaminan hari tua dan jaminan pensiun,” demikian Iqbal menjelaskan.
Menurutnya, hal ini akibat dari adanya sistem kerja yang fleksibel tadi. Sebagaimana kita pahami, agar bisa mendapat jaminan pensiun dan jaminan hari tua, maka harus ada kepastian pekerjaan.
“Bagaimana mau mendapatkan jaminan pensiun, jika pekerja setiap tahun berpindah pekerjaaan dan hanya mendapatkan upah selama beberapa jam saja dalam sehari yang besarnya di bawah upah minimum?”
Keenam, ada upaya menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha.
Menurutnya dalam omnibus law, juga ada wacana untuk menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha. Sebagaimana kita ketahui, UU 13/2003 memberikan sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak membayar hak-hak buruh.
Sebagai contoh, pengusaha yang membayar upah upah di bawah upah minimum, bisa dipenjara selama 1 hingga 4 tahun. Jika sanksi pidana ini dihilangkan, bisa jadi pengusaha akan seenaknya membayar upah buruh lebih rendah dari upah minimum.
“Dampaknya, akan banyak hak buruh yang tidak berikan pengusaha. Karena tidak ada efek jera,” ujar Iqbal..
“Mencermati wacana omnibus law, tidak sulit bagi kita untuk menyimpulkan bahwa ini adalah bagian untuk menghilangkan kesejahteraan para pekerja. Oleh karena itu, ini bukan hanya permasalahan pekerja. Tetapi juga permasalahan seluruh rakyat Indonesia,” katanya.
Apakah substansi yang dipersoalkan buruh benar adanya?
Pemerintah hingga saat ini masih membahas finalisasi draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Pembahasan bersama para satgas yang dipimpin oleh Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P Roeslani akan di lanjutkan di pertengahan pekan ini. Pengusaha sendiri mengaku belum dapat draf resmi dari pemerintah.
“Kalau itu (demo buruh) dari kami dan pemerintah saja belum final pembahasan itu, kluster ketenagakerjaan. Jadi kami pun belum terima secara formal dari pemerintah karena tadi pun diharapkan ada ternyata belum. Dari pemerintah aja belum final, makanya tadi kita nggak bicarakan tenaga kerja karena belum ada. Belum ada pembicaraan itu sama sekali karena belum ada putusan dari pemerintah nya. Belum diberikan ke kami untuk pembahasan,” kata Rosan, Senin (13/1).