Jakarta, CNN Indonesia — Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) serta Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengubah sejumlah poin yang ada di Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Hal ini disampaikan ketika perwakilan masing-masing asosiasi menyambangi Istana Merdeka, Jakarta, pada Kamis (13/6).
Ketua Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan Kepala Negara perlu melihat kembali aturan main soal ketenagakerjaan karena beberapa poin sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Misalnya, perubahan tren industri dari padat karya menjadi padat modal.
Salah satu poin yang sudah tak relevan adalah soal upah pekerja. Apalagi, UU tersebut tidak pernah diubah sejak diterbitkan pada 2003 silam.
“Dari 2003 sampai sekarang itu kan sudah beralih persepsi bahwa upah minimum itu menjadi upah rata-rata,” ungkap Hariyadi.
Pada poin upah, katanya, pemerintah menginginkan dunia usaha memberikan kenaikan upah kepada pekerja sesuai dengan formula inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi. Selain itu, ada pula ketentuan batas minimum upah. Penyesuaian upah sendiri dilakukan setiap tahun.
Padahal, hal tersebut tidak sepenuhnya bisa dipenuhi industri, khususnya industri padat karya yang mempekerjakan pekerja dalam jumlah banyak.
Akibatnya, perkembangan industri ini tersendat lantaran investor lebih memilih negara lain dengan upah pekerja yang terjangkau, namun keterampilannya lebih tinggi dari Indonesia. Misalnya, Vietnam, Myanmar, Bangladesh, Srilanka, dan Kamboja.
Di sisi lain, Indonesia sangat membutuhkan perkembangan industri padat karya lantaran memiliki jumlah angkatan kerja yang tinggi. Terlebih, Indonesia akan menghadapi bonus demografi dalam beberapa tahun ke depan, di mana jumlah pekerja angkatan muda meningkat.
Sayangnya, tingkat pendidikan pekerja di Tanah Air cenderung rendah, yaitu hanya lulusan SD dan SMP. Namun, latar belakang pendidikan pekerja itu sejatinya bisa diserap oleh industri padat karya.
“Bahkan, Laos sudah bersiap-siap. Nah, kita (Indonesia) jangan sampai berkonsentrasi ke padat modal saja, tapi padat karya tidak ditangani. Apalagi jumlah angkatan kerja lebih dari 130 juta,” ujarnya.
Selain persoalan upah, Hariyadi mengatakan poin lain yang juga perlu dipertimbangkan dari UU Ketenagakerjaan saat ini adalah soal jaminan pensiun. Sebab, skema yang digunakan saat ini sebenarnya memberikan risiko fiskal ke depan, yaitu manfaat pasti.
Padahal, katanya, sejumlah negara di dunia sudah meninggalkan skema jaminan pensiun ini dan beralih ke iuran pasti. Maklum saja, skema manfaat pasti membuat perusahaan harus memberikan alokasi perlindungan yang lengkap dan menyeluruh kepada para pensiunan.
Hal tersebut tentu memberatkan keuangan perusahaan, padahal untuk pekerja yang sudah tidak bekerja lagi. “Jangan sampai nanti (perusahaan) baru berjalan beberapa saat, lalu kekurangan dana karena tadi, kita salah menerapkan sistem,” jelasnya.
“Karena metodologinya manfaat pasti, di mana banyak negara di dunia yang sebenarnya sudah meninggalkan manfaat pasti, beralih ke iuran pasti.
Menurut Hariyadi, permintaan ini sejatinya ditanggapi dengan nada positif oleh orang nomor satu di Indonesia itu. “Pemerintah akan mengupayakan dalam enam bulan ini untuk me-review kembali UU Ketenagakerjaan karena kondisinya sudah cukup mendesak,” ucapnya.
Senada, Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Perkasa Roeslani juga menilai UU Ketenagakerjaan perlu segera direvisi, khususnya terkait upah pemutusan hubungan kerja (severance payment). Pasalnya, poin ini menjadi salah satu hal yang kerap dipertimbangkan investor sebelum memutuskan masuk ke dalam negeri.
“Severance payment adalah satu yang paling memberatkan karena itu yang dikeluhkan investor luar,” katanya. (uli/lav)