Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah resmi menghapus upah minimum sektoral (UMSK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yang merupakan turunan dari Omnibus Law. Padahal, di aturan sebelumnya pada PP 78 tahun 2015 tentang Pengupahan, upah sektoral menjadi salah satu yang tercantum.
Keputusan pemerintah itu mendapat protes dari kalangan buruh. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai kebijakan menghapus sektoral hanya membuat ketidakadilan.
“Akan terjadi ketimpangan antar sektor unfairness, nggak ada rasa keadilan. Upah buruh harus mencerminkan rasa keadilan, nggak bisa semua orang sama,” katanya Rabu (24/2/21).
Ia menyebut Konvensi ILO (Organisasi Perburuhan Internasional) Nomor 131 tentang Penetapan Upah Minimum sudah mengatur upah minimum sektoral. Jika Pemerintah menghapusnya, maka berbalikkan dengan apa yang sudah menjadi persetujuan di tingkat internasional.
“Konvensi itu memberi ruang upah minimum sektoral, artinya antara capital intensive padat modal dan labour intensive padat karya pasti beda upah minimumnya. Misal pabrik mobil upah minimum sesama pabrik mobil sama, pabrik motor berbagai merk upah minimum sama. Tapi nggak bisa pabrik motor-mobil disamakan dengan pabrik sendal jepit, itu menyebabkan diskriminasi upah,” sebut Said Iqbal.
“Kita tetap minta UMSK-UMSP (Upah Minimum Sektoral Kota/Kabupaten dan Provinsi) dihidupkan kembali karena semangat konstitusi rasa keadilan, harus diterjamahkan dalam aturan,” lanjutnya.
Saat ini, upah sektoral sudah tidak tercantum lagi di PP tentang Pengupahan terbaru. Pada pasal 82 d tegas menyebutkan itu.
“Gubernur tidak boleh lagi menetapkan Upah minimum sektoral,” tulisnya.
Padahal, pada PP 78 tahun 2015 tentang Pengupahan jelas tertulis. Pada Pasal 49 ayat (1) menyebutkan Gubernur dapat menetapkan Upah minimum sektoral provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan hasil kesepakatan asosiasi pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh pada sektor yang bersangkutan.
“Penetapan Upah minimum sektoral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat saran dan pertimbangan mengenai sektor unggulan dari dewan pengupahan provinsi atau dewan pengupahan kabupaten/kota sesuai dengan tugas dan kewenangannya,” tulis pasal 49 ayat (2).
Dari kalangan dunia usaha, UMSK memang jadi momok, sebab biasanya levelnya jauh lebih tinggi dari Upah Minimum Provinsi (UMP) maupun Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).
Sebagai contoh Upah minimum provinsi (UMP) 2019, Banten memang hanya Rp 2,2 juta, tapi justru yang lebih tinggi adalah upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan UMKS 2019. UMK Kota Cilegon sebesar Rp 3,91 juta, lalu UMSK jauh lebih tinggi, yaitu:
- Industri bahan kimia dan barang kimia Rp 4,283 juta
- Industri Produk Batu Bara dan Pengilangan Minyak Bumi, Industri Karet, Industri Barang Galian, Industri Logam Dasar, Industri Barang Logam Bukan Mesin, Industri Peralatan Listrik Rp 4,268 juta
- Industri makanan, pergudangan dan penyimpanan dan lain-lain Rp 4,188 juta
- Industri Telekomunikasi, Real Estate, Pariwisata, Rumah Sakit Rp 4,110 juta