dppkspsi.com, Jakarta — Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea menyatakan buruh keberatan dengan isi dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang alias Perppu Cipta Kerja. Menurutnya, banyak pasal dalam aturan tersebut yang ditolak buruh.
Andi Gani menjelaskan hal pertama yang ditolak buruh dari dalam Perppu Cipta Kerja adalah soal penetapan upah minimum, KSPSI menolak formula kenaikan upah yang tercantum pada pasal 88D Perppu Cipta Kerja.
Pasalnya, dalam aturan itu disebutkan variabel perhitungan kenaikan upah berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indikator tertentu. Sementara tidak ada penjelasan soal indeks tertentu itu seperti siapa pihak yang menetapkan indikator tersebut maupun dasar kajiannya.
“Harus jelas indikasi itu apa, keadaan tertentu ini kan bias. Apakah bencana alam? Kemunduran ekonomi? Atau apa keadaan tertentu ini yang bias,” ungkap Andi Gani dalam konferensi pers yang dilakukan di markas DPP KSPSI, bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan, Selasa (3/1/2023).
Berkaca pada masa pandemi, menurutnya tak semua perusahaan juga mengalami penurunan kinerja. Perusahaan di sektor farmasi justru naik kinerjanya. Maka dia mengusulkan lebih baik ada hitungan yang rigid soal penentuan upah minimum, memperhatikan pertumbuhan ekonomi dan lain sebagainya.
Kalaupun dari sisi pengusaha ada yang keberatan menaikkan upah minimum karena usahanya mengalami kerugian imbas kondisi perekonomian, pihak buruh sendiri menawarkan opsi agar pengusaha memberikan bukti kerugian yang menunjukkan perusahaan tak mampu menaikkan upah minimum.
“Kami tak menutup kesempatan kalau pengusaha kesulitan menaikkan upah minimum. Opsinya bagi perusahaan yang tak mampu bisa menunjukkan bukti kerugiannya baru dibicarakan apakah upah minimum naik atau tidak,” papar Andi Gani.
Masih soal penetapan upah minimum, di pasal 88 disebutkan bahwa gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi. Gubernur juga dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota.
Menurut KSPSI kata ‘dapat’ menimbulkan celah di mana gubernur bisa saja tidak menetapkan kenaikan upah minimum.
Kedua, penolakan juga diberikan pada pasal 64 sampai pasal 66 soal pekerja alih daya atau outsourcing. Di Perppu Cipta Kerja tidak diterangkan jenis pekerjaan apa saja yang boleh dilakukan oleh pekerja alih daya atau outsourcing.
“Outsourcing kita sampaikan dibatasi hanya untuk beberapa pekerjaan saja, itupun dengan kejelasan kontrak waktu selesai. Di dalam Perppu itu tidak ada kejelasan, sektor mana saja yang boleh outsourcing dan kontrak jangka panjang sesuai keinginan perusahaan bisa saja,” ungkap Andi Gani.
Pemerintah lebih baik mengembalikan aturan pekerja alih daya ke UU Ketenagakerjaan yang membatasi lima jenis pekerjaan yakni sopir, petugas kebersihan, sekuriti, katering, dan jasa migas pertambangan.
Ketiga, KSPSI menolak aturan soal besaran pesangon yang diterima pekerja di Perppu Cipta Kerja. Pasalnya, tidak ada bedanya aturan pesangon yang ada di Perppu dan UU Cipta Kerja yang sebelumnya pun ditolak buruh.
Akibatnya, kata Andi Gani, pekerja tidak bisa melakukan perundingan atas pesangon yang biasanya menerima besaran dua atau tiga kali lebih besar dari ketentuan sesuai kemampuan perusahaan.
“Pesangon kami meminta ke UU 13 tahun 2003, itu sudah paling pas perhitungannya,” pungkas Andi Gani.