Merdeka.com – Wakil Presiden, Jusuf Kalla menilai bahwa faktor ketertinggalan teknologi produksi menjadi penyebab industri nasional gagal bersaing dengan industri global.
Wapres mencontohkan kerugian perusahaan nasional, PT Krakatau Steel yang terjadi karena masih memakai teknologi yang usang dalam produksi bajanya.
“Bayangkan, Indonesia jual baja Rp8,4 juta per ton (USD 600). Tapi China bikin Rp5,6 juta (USD 400) per ton, kalau China jual dengan harga Rp7 juta (USD 500) per ton, dia untung Rp1,4 juta (USD 100), baja nasional jelas rugi,” jelas Jusuf Kalla dikutip Antara.
Wapres membandingkan teknologi PT Krakatau Steel dengan perusahaan baja asal China yang menurutnya lebih maju dalam hal teknologi.
“Krakatau Steel masih pakai teknologi lama, teknologi Jerman tapi usang. Makin banyak yang diproduksi, makin susah bersaing karena kalah sama teknologi baru China yang simpel,” ujar dia.
Dengan revolusi industri 4.0, pemerintah bermaksud mendorong industri nasional mengembangkan teknologi produksinya sehingga bisa bersaing di pasar terbuka. “Katakanlah di kita, pegawainya 600 sampai 800 orang satu pabrik. Tapi pabrik China hanya 70 orang karena semua sudah otomatisasi,” ujar Wapres.
Meski teknologi berkembang, Wapres mengatakan pemerintah menghadapi pilihan sulit karena kemajuan teknologi dalam industri juga mengandung resiko. “Revolusi (industri) itu ada resikonya, resiko itu dinamakan efisiensi,” ujar dia.
Selain teknologi yang usang, Wapres menilai harga jual pasar yang turun drastis menyebabkan pemerintah memilih mendorong perusahaan nasional melakukan efisiensi.
Masih mencontohkan industri baja, Wapres menyebut baja pernah menyentuh harga jual tertinggi sekitar Rp14 juta (1000 dolar AS) per ton pada 2008. “Sekarang sisa setengahnya ,” ujar dia.