Jakarta, CNBC Indonesia – RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) sudah hampir rampung. Pemerintah berharap di masa sidang tahun 2020 ini, RUU Omnibus Law Ciptaker bisa disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, saat ini pembahasan Omnibus Law Ciptaker sudah mencapai 80%. Pun isu krusial, dalm hal ini pasal ketenagakerjaan sudah disepakati bersama, baik itu oleh pemerintah, pengusaha, dan beberapa serikat buruh.
“Pembahasan detailnya sudah 80%, termasuk isu ketenagakerjaan. Sudah dibahas oleh pemerintah, pengusaha dari Apindo [Asoisasi Pengusaha Indonesia] dan Kadin [Kamar Dagang dan Industri Indonesia]. Juga dengan representasi dari serikat pekerja, 16 federasi dan serikat pekerja.”
“Kesepakatan sudah terjadi dan tinggal dituangkan di dalam draft legislasi,” kata Airlangga saat berbincang dengan CNBC Indonesia TV dalam acara Squawk Box, Rabu (26/8/2020).
Selain itu persoalan lainnya terkait sovereign wealth fund (SWF) juga kata Airlangga juga sudah selesai dibahas.
SWF merupakan investasi milik negara yang dialokasikan baik di aset riil maupun di aset keuangan seperti saham, obligasi, dan real estat. Ini adalah bentuk alternatif dari kumpulan dana investasi di pasar keuangan global selain private equity funds dan hedge funds.
“Isu terakhir bagaimana mengharmonisasikan masalah basis hukum yang ada di dalam Omnibus Law, atau yang merupakan basis hukum perizinan,” jtutur Airlangga.
Harmonisasi basis perizinan yang dimaksud Airlangga yakni perizinan dan pelanggaran yang terkait dengan Kesehatan, Keselamatan, Keamanan, dan Lingkungan (K3L), baik secara administratif atau masuk ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Terkait K3L tersebut, kata Airlangga bervariasi sanksinya. Misalnya terkait dengan izin, apabila investor dalam mendirikan usaha tidak dengan memperhatikan K3L maka hukumnya admnistratif. Sedangkan untuk investor yang tidak memiliki izin dan ada pelanggaran K3L, maka sanksinya berupa hukuman pidana.
“Semuanya dalam tahap akhir, masih ada satu-dua harmonisasi lagi yang perlu dilakukan. Kami berharap bulan ini [Agustus] 90% bisa selesai, sehingga masa sidang ini bisa diketok di DPR. […] Tinggal kesepakatan ini dinarasikan menjadi legal drafting. Legal drafting ini adalah antara Pemerintah dan 9 Fraksi di DPR,” jelas Airlangga.
9 Alasan Kaum Buruh Menolak Omnibus Law Ciptaker
Sebelumnya, Selasa (25/8/2020) puluhan ribu buruh melakukan aksi unjuk rasa menolak pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja. Aksi unjuk rasa dilakukan serentak di dua tempat yakni di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan di depan Gedung DPR.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, ada 9 alasan mengapa kaum buruh menolak RUU Omnibus Law yang diserahkan pemerintah kepada DPR.
Kesembilan alasan tersebut di antaranya hilangnya upah minimum, berkuranganya nilai pesangon, waktu kerja eksploitatif, karyawan kontrak seumur hidup, outsourcing seumur hidup, PHK dipermudah, hak cuti dan upah atas cuti dihapus, Tenaga Kerja Asing (TKA) buruh kasar dipermudah masuk, sanksi pidana dihapus, serta potensi hilangnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun bagi pekerja kontrak dan outsourcing seumur hidup.
Pun kata Said sebelumnya, DPR RI dan Serikat Pekerja sepakat untuk membahas aspirasi buruh tersebut dengan membentuk tim bersama atau tim perumus.
Dalam tim perumus bersama tersebut disampaikan agar klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja. Atau setidaknya, UU No 13/2003 tentang ketenagakerjaan tidak dirubah atau direvisi sedikitpun.
“Jadi UU No 13/2003 tetap berlaku seperti sekarang, termasuk didalamnya semua putusan MK yang sudah final terhadap UU No 13/2003 tersebut tidak boleh dirubah.”
“Kalau ingin memasukkan perihal ketenagakerjaan ke dalam omnibus law, maka sebaiknya memasukan tentang perihal pengawasan ketenagakerjaan agar lebih kuat, meningkatkan produktivitas melalui program pendidikan dan pelatihan, atau segala sesuatu yang belum diatur dalam UU No 13/2003, seperti pekerja industri start up, UMKM, dan transportasi online,” jelas Said dalam siaran tertulisnya, dikutip CNBC Indonesia, Rabu (26/8/2020).
Di tengah buruh melakukan unjuk masa itu, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya akhirnya menemui massa buruh yang menggelar demo menolak omnibus law RUU Cipta Kerja di depan gedung DPR, Selasa (25/8/2020).
Kepada CNBC Indonesia, Willy mengatakan beberapa kesepakatan antara DPR dan serikat pekerja.
Kesepakatan tersebut di antaranya yakni materi Klaster Ketenagakerjaan RUU Omnibus Law Ciptaker yang terkait dengan perjanjian kerja waktu tertentu, upah, pesangon, PHK, penyelesaian perselisihan hubungan industrial, jaminan sosia, semua kesepakatan itu harus didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Jika pada akhirnya keputusan MK terkait persoalan-persoalan yang diminta oleh para buruh ditolak, maka keputusan itu pun juga akan gugur atau batal secar hukum.
“Apa yang sudah menjadi putus an MK tentu sifatnya final dan mengikat,” kata Willy kepada CNBC Indonesia, Selasa (25/8/2020).
Selain itu, kata Willy berkenaan dengan sanksi pidana ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja dikembalikan sesuai ketentuan UU ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003, dengan proses yang dipertimbangkan secara seksama.
Berkenaan dengan hubungan ketenagakerjaan yang lebih adaptif terhadap perkembangan industri maka pengaturannya dapat dimasukkan di dalam RUU Cipta Kerja dan terbuka terhadap masukan publik.
Kemudian Fraksi-fraksi di DPR akan memasukkan poin-poin materi substansi yang disampaikan serikat pekerja/serikat buruh kedalam Daftar Inventasis Masalah (DIM) Fraksi.
“Itu hasil sama buruh. Masih ada Bab 8, 9, 10 dan 4 [yang masih harus dibahas]. Secara prinsip sudah menyelesaikan izin lingkungan, pemanfaatan ruang, gedung dan bangunan, dan sanksi pidana,” jelas Willy.
Secara persentase Willy mengakui bahwa pembahasan antara Panitia Kerja (Panja) Pemerintah dan Baleg DPR, pembahasannya sudah lebih dari 75%.
Apabila tidak ada halangan, kata Willy RUU Omnibus Law Ciptakerja itu bisa disahkan oleh DPR.
“Ya kurang lebih sudah segitu [lebih dari 75%]. Tapi ini yang substansi semua. Jadi lebih berat. Kita lihat saja dinamika pembahasannya. Karena terbuka untuk publik dari TV Parlemen dan Sosial Media DPR,” jelas Willy.