Jakarta, CNBC Indonesia – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui untuk meneruskan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU), yang dinilai publik tidak seharusnya untuk disahkan dalam waktu dekat ini, di tengah pandemi covid-19.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Ahmad Baidhowi mengatakan, RUU yang sedang dibahas pada tahun ini, yang sebelumnya tidak terselesaikan di tahun sebelumnya (carry over), ada 4 RUU.
Daftar RUU yang kemungkinan akan disahkan tahun ini di antaranya RUU KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), RUU revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atau RUU Minerba, RUU Permasyarakatan, dan RUU Bea Materai.
“Itu di bahas di komisi masing-masing, keempat RUU itu melanjutkan pembahasan periode sebelumnya,” jelas Baidhowi kepada CNBC Indonesia, Senin (6/4/2020).
Sementara ada RUU Pertahanan yang, kata Baidhowi tidak masuk dalam carry over, sehingga harus di ulang dari awal pembahasan.
Baidhowi pun menjelaskan, mekanisme carry over sudah diatur dalam UU 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di mana sebuah RUU bisa di carry over dan masuk dalam prolegnas prioritas tahun berikutnya diputuskan oleh tiga pihak; Baleg DPR, Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD, dan Kementerian Hukum dan HAM.
“Dalam forum raket, raker tersebut hanya disepakati 4 RUU yang di carry over. Sepengetahuan saya, RUU Pertahanan, 8 fraksi periode lalu menyatakan menolak hasil panja,” ujarnya.
Sementara untuk RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker), kata Baidhowi Baleg baru akan membahas RUU Ciptaker. “Kalau di Baleg baru memulai membahas RUU Ciptaker,” kata Baidhowi.
Pengamat: Aji Mumpung Pemerintah dan DPR
Direktur Pusat Studi Konstitusi ( Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menilai, di tengah badai bencana ini, pemerintah dan DPR seolah mengambil kesempatan dalam kesempitan atau aji mumpung, untuk membahas RUU yang semestinya tidak harus dilakukan.
“Di tengah badai bencana ini, ternyata pemerintah dan DPR masih mencuri-curi kesempatan dan melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan pilihan kebijakan yang sudah ditentukan,” kata Feri seperti dikutip dalam siaran YouTubenya, Senin (6/4/2020).
Padahal, pemerintah sudah mengeluarkan Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang stabilitas keuangan negara, di mana berupakan mengalihkan anggaran untuk dipergunakan sebaik-baiknya untuk penanggulangan wabah covid-19.
“Ternyata DPR masih melakukan sidang yang tentu saja punya potensi merugikan keuangan negara, di tengah menghadapi bencana ini,” ujarnya.
Menurut Feri, semestinya tidak ada lagi sidang-sidang yang tidak berguna bagi publik yang dilakukan oleh DPR. Tapi, DPR memilih melakukan persidangan untuk mengesahkan RUU Omnibus Law Ciptaker, RUU KUHP, dan RUU Permasyarakatan.
Tiga undang-undang tersebut, menurut Feri sudah jelas memiliki misi tersembunyi di tengah bencana yaitu berupaya menyelamatkan koruptor yang sudah tertahan. Kalau koruptor terancam penyakit covid-19 mestinya di rawat saja, tidak dibebaskan.
“Kalau kemudian omnibus law dibahas, ini merupakan teknik klasik seseorang menyimpangkan kekuasaannya di tengah bencana. Di mana undang-undang ini tidak bermanfaat bagi masyarakat dan meresahkan publik,” tutur Feri.
“Termasuk juga RUU KUHP. Aneh saja kalau DPR dibiarkan pemerintah padahal pemerintah sudah mengumumkan pembatasan sosial berskala besar, tapi mereka masih melakukan kegiatan,” kata Feri melanjutkan.
Meskipun memang, lanjut Feri, para anggota dewan tidak berkumpul atau membatasi berkumpul dalam ruang sidang, tapi juga harus di ingat ada pegawai-pegawai DPR yang terpaksa harus menyiapkan dan bekerja.
“Padahal sudah diumumkan untuk bekerja dari rumah. Tindakan-tindakan semacam ini harus dilawan oleh publik, dikasih kisi secara baik, tidak untuk menghangatkan suasana,” tegas Feri.
Sementara itu, forum yang menamakan sebagai Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengatakan, mengesampingkan kualitas substansi, RKUHP yang akan disahkan juga kemungkinan mengandung ketentuan-ketentuan yang tidak akan relevan lagi dengan konteks sosial masyarakat Indonesia ke depan.
Ditambah masih banyak masalah yang timbul dari pasal-pasal yang saat ini harusnya lebih dalam dan menyeluruh untuk dibahas.
“Dalam kondisi saat ini, darurat kesehatan terkait Covid-19 akan mengubah begitu banyak aspek kehidupan masyarakat. Bisa jadi, perubahan kondisi sosial masyarakat ini dapat melahirkan kebiasaan-kebiasaan baru yang secara tidak langsung akan berdampak pada penerapan kebijakan hukum pidana namun mungkin belum dipikirkan dalam naskah yang sekarang,” ujarnya Aliansi Nasional Reformasi KUHP dalam siaran resminya.