Jakarta – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan diprediksi mengalami defisit keuangan sebesar Rp 32,84 triliun hingga akhir 2019. Banyak penyebabnya, salah satunya ribuan perusahaan yang memanipulasi data gaji untuk menjadi peserta.
Anggota Komisi XI DPR, Ahmad Hatari mengatakan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut ada 2.348 perusahaan yang memanipulasi data gaji kepada BPJS Kesehatan.
“Siapa yang mau bantah ini?, manipulasi data, tata kelola yang kacau,” kata Hatari di ruang rapat Komisi XI DPR, Jakarta, Senin (2/9/2019).
Hatari mengungkapkan, hasil audit BPKP menemukan masih ada 24,77 juta peserta BPJS Kesehatan yang bermasalah. Dari data itu, 17,7 juta jiwa mengalami masalah NIK, 10 juta jiwa terdapat NIK ganda, dan kolom faskes yang kosong sekitar 21.000, dan sisanya sudah meninggal.
Sedangkan dari hasil audit BPK, sebanyak 528.120 pekerja belum didaftarkan dari 8.314 perusahaan. Dan ditemukan sebanyak 2.348 badan usaha tidak melaporkan gaji dengan benar.
“Temuan BPKP juga, badan usaha yang belum tertib dengan tidak didaftarkan secara penuh pesertanya adalah 500 ribuan peserta,” jelas dia.
Oleh karena itu, persoalan defisit keuangan BPJS Kesehatan harus diselesaikan secara bersama-sama khususnya antar pemerintah. Mulai dari penyelesaian data hingga keputusan untuk menyesuaikan iuran.
“Karena, sulit menyelamatkan BPJS, satu tahun itu asumsi tagihannya pada 2019 sebesar Rp 32 triliun, estimasi defisit harus ditutup dulu dan iuran baru bisa membantu BPJS Kesehatan di 2020,” ungkap dia.