Merdeka.com – Direktur Utama PT Barata Indonesia (Persero), Fajar Harry Sampurno menilai, peran sektor manufaktur Indonesia saat ini dalam kondisi darurat. Sebab, sektor ini dalam kurun waktu 5 tahun terakhir yang menunjukkan tren menurun. Meski di masa pandemi menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional dengan sumbangsih 19,9 persen.
“Sektor manufaktur ini kami lihat sebenarnya darurat karena posisi perannya semakin turun,” kata Fajar dalam Webinar Strategi Membangkitkan Kembali Sektor Industri di Indonesia, Jakarta, Kamis (29/4).
Berbeda jauh dengan era tahun 1960 hingga 1998 yang terus menunjukkan trend peningkatan. Sektor manufaktur menjadi penggerak utama perekonomian nasional kala itu. Persentase kontribusi sektor tersebut melebihi pertumbuhan ekonomi di masanya.
“Dulu itu tumbuhnya dua kali lipat dari perekonomian nasional dan ini berhenti di tahun 1998. Terus mengalami penurunan hingga saat ini,” ungkap Fajar.
Fajar tidak menutup mata, sektor manufaktur selama tahun 2020 memiliki daya tahan karena mampu berkontribusi 19,9 persen kepada pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, hal itu tetap patut dikritisi, kondisi ini murni daya tahan sektor manufaktur atau malah karena sektor penopang utama lainnya yang anjlok.
“Berkat pandemi ini tidak turun tapi bertahan di angka 19 persen. Ini karena persentasenya begitu atau karena sektor lain ambruk atau apa dan ini terlihat bertahan.,” kata dia.
Secara umum dunia usaha terus berubah dan mengalami pasang surut. Tercermin dari di tahun 2006, bisnis minyak, manufaktur dan perbankan menjadi tiga besar sektor usaha yang masuk peringkat dunia. Selang 10 tahun kemudian hingga saat ini, perusahaan-perusahaan di tiga sektor tersebut tak lagi menduduki posisi teratas. Berganti menjadi Apple, Microsoft dan Alibaba.
Berbagai perubahan tersebut tidak terlepas dari peran perkembangan teknologi digital. Indonesia pun sejak pandemi Covid-19 mulai mempercepat akselerasi transformasi digital 4.0 yang sayangnya berbagai negara lain sudah mempersiapkan diri untuk masuk ke 5.0.
“Di industri sendiri terjadi disruptif, kita tahu kita pemerintah bilang menuju industri 4.0. Kita sedang kejar ini, padahal dunia ini sudah mulai 5.0 yakni personalisasi,” kata dia.
Meski begitu, fajar melihat ada peluang yang bisa dimanfaatkan Indonesia untuk mengejar ketertinggalan. Di masa depan Indonesia bisa menjadi pemain utama dalam industri berkelanjutan.
Lewat pembangunan ekosistem kendaraan listrik berbasis baterai ini, Indonesia bisa mengambil peran karena memiliki stok bahan baku yang berlimpah. Indonesia bisa memanfaatkan ini sebagai pengendali tanpa perlu menunggu negara lain terlebih dulu.
“Kalau kita yakin, kita bisa dan kita harus melakukan perubahan itu sendiri, bukan menunggu kita yang harus berubah,” kata dia mengakhiri.