Merdeka.com – Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, menyebut bahwa industri kelapa sawit Indonesia memiliki peranan besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Apalagi nilai ekspor hasil minyak kelapa sawit Indonesia mengalahkan komoditas migas.
“Betapa penting kita perjuangkan sawit untuk kehidupan ekonomi Indonesia ke depan. Ekspor sawit bagi Indonesia sangat besar melebihi ekspor migas porsinya 11 persen,” ujarnya saat ditemui di Jakarta, Selasa (17/12).
Dia mengatakan, jika secara terus menerus pemerintah mampu menggenjot industri minyak kelapa sawit maka juga bisa menekan defisit transaksi berjalan atau CAD. “Kalau kita defisit digenjot ekspor sawit akan menggenjot surplus CAD kita,” imbuh dia.
Untuk mendorong kinerja ekspor, pemerintah juga diharapkan mampu memperkuat produk CPO dalam negeri dengan fokus melakukan hilirisasi terhadap produk turunan CPO. “Semakin ke hilir ekspornya semakin sedikit. CPO bisa jadi produk makanan, kosmetik, energi dan kimia. Ini hilir sawit, kita mau fokus kemana,” ujarnya.
Heri menambahkan, peluang paling besar untuk hilirisasi CPO ada di sektor energi. Misalnya, fokus mengembangkan industri Fatty Acid Methyl Ester (FAME). Apalagi ekspor FAME Indonesia baru mencapai 1,6 persen dari total ekspor dunia yang mencapai USD 45 miliar.
“Ini (sawit) kan bahan campuran Bahan Bakar Nabati (BBN). Potensi ekspor ini cukup luas, mengingat tren penggunaan BBN di dunia semakin meningkat. Saat ini China, Jepang, AS dan Uni Eropa pengguna FAME terbesar,” pungkasnya.
RI Butuh Lahan Sawit 9 Juta Ha Pasok Kebutuhan 226,7 Juta Ton Minyak Nabati Dunia
Pimpinan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Daniel Johan, memproyeksikan kebutuhan minyak nabati pada 2025 mendatang akan mencapai 226,7 juta ton. Angka ini tumbuh 36,4 juta ton dari 190,22 juta ton pada 2017 lalu.
“2025 ke depan penduduk dunia mencapai 8 miliar, terjadi peningkatan kebutuhan minyak nabati menjadi 226,7 juta ton,” kata dia dalam sebuah diskusi sawit di Jakarta, Selasa (17/12).
Dia menyebut, untuk mencapai kebutuhan konsumsi minyak nabati tersebut, paling tidak Indonesia setiap tahun harus mampu memproduksi 4,56 juta ton per tahunnya. Untuk mencapai itu, maka luas perkebunan sawit setidaknya perlu bertambah hingga 9 juta hektare (ha).
“Dengan luas tersebut, maka kita bisa menghasilkan sekitar 4 juta ton per tahun,” imbuh dia.
Kebutuhan lahan perkebunan sawit ini cenderung lebih rendah dibandingkan komoditas minyak nabati lain seperti kedelai, rapeseed, dan bunga matahari. Di mana perluasan penanaman kedelai membutuhkan lahan sebanyak 70 juta ha, dengan kapasitas produksi 0,52 juta ton per tahun.
Sementara, untuk menambah luas lahan rapeseed membutuhkan sekiranya 36 juta ha dengan kapasitas 0,99 juta ton per tahun. Lalu, untuk bunga matahari, kebutuhan lahan tambahan mencapai 51 juta ha, dengan kapasitas 0,71 persen per tahun.
“Dengan fakta bahwa sawit butuh lahan paling sedikit dan produktivitasnya paling tinggi, apakah kampanye negatif pada sawit relevan?” ungkap dia.
Oleh karena itu, dirinya berharap negara-negara Eropa justru memperhatikan dan memberikan dukungan kepada Indonesia. Mengingat mayoritas kebun sawit Indonesia dikelola oleh petani swadaya.
“Kenapa sawit justru digempur? Menurut saya sawit adalah jawaban dari keberlanjutan. Daripada menyerang sawit, lebih baik membantu sawit Indonesia,” tandas dia.