Read Time:5 Minute, 8 Second
Draft Omnibus Law Cipta Kerja menjadi perdebatan di publik akhir-akhir ini. Pembahasan draft yang serba rahasia, kurang partisipatif, dan isinya sudah ditebak akan berpihak ke kepentingan oligarki yang kawin dengan kekuasaan. Dalam draft Omnibus Law Cipta Kerja yang sudah diterima di DPR, timbul keraguan benarkah cipta kerja ini untuk memperbesar peluang penciptaan tenaga kerja seperti klaim Menteri Tenaga Kerja. Kalau benar, lalu tenaga kerja seperti apa yang menjadi mimpi Omnibus Law?
Dalam Omnibus Law tidak hanya bicara perizinan, tapi juga bicara soal klaster spesifik terkait ketenagakerjaan. Sama sekali bukan kejutan, ada banyak pasal yang bermasalah jika dilihat secara detail. Misalnya soal kemudahan TKA bekerja di perusahaan startup tercantum dalam Pasal 42. Kalau alasannya talent digital di Indonesia masih kurang, bukan dengan datangkan TKA, tapi ciptakan sistem pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan startup. Miris ada 50.000 lulusan ilmu komputer per tahun yang harus berhadapan dengan TKA. Jadi lebih tepat judul RUU Cipta Kerja ditambah menjadi RUU Cipta Kerja Asing.
Membaca pasal lainnya membuat pekerja Indonesia pastinya tersenyum sendiri, menahan getir. Praktik outsourcing tidak diberikan batas apakah pekerja inti produksi atau non-inti. Artinya, perusahaan dapat dengan mudah mengganti pekerja tetap dan menyerahkan pekerjaan ke perusahaan alih daya. Batasan yang tidak jelas ini menciptakan ketidakpastian kerja (job insecurity).
Soal lain terkait kenaikan upah minimum yang hanya menggunakan formula pertumbuhan ekonomi daerah. Ada daerah yang maju, ada daerah yang pertumbuhannya negatif. Artinya upah minimum bisa saja turun jika pertumbuhan ekonomi daerah negatif. Fungsi upah minimum adalah melindungi daya beli pekerja, tapi Omnibus Law merontokkannya satu per satu.
Belum bicara di klaster Pertanian, ada pasal aneh terkait posisi impor disamakan dengan produksi dan cadangan nasional. Padahal dalam UU Perlindungan Petani, yang namanya impor itu dilarang kecuali produksi dan cadangan nasional tidak bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri. Impor adalah suatu keterdesakkan, itu rumusnya. Sekarang di Omnibus Law justru terbalik, memposisikan impor sederajat dengan produksi artinya keran impor boleh dibuka sebebas-bebasnya bahkan ketika produksi sudah mencukupi.
Serba repot memang nasib pekerja terutama kaum milenial pasca adanya Omnibus Law, mau kerja di startup diserbu TKA, mau kerja di pabrik tenaganya diperas, mau kerja di pertanian dikalahkan impor. Lalu Omnibus Law ini maksudnya menciptakan tenaga kerja yang mana?
Dari hasil penelitian JETRO (Japan External Trade Organization) tahun 2020 terungkap, tidak hanya pengusaha di Indonesia yang mengeluh soal upah. Bahkan di Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam keluhan no.1 dari sisi pengusaha soal kenaikan upah. Memang secara nature pengusaha, khususnya di sektor padat karya, ingin agar upah ditekan semurah-murahnya. Pasal ini yang kemudian disisipkan dalam Omnibus Law bahwa upah minimum sektor padat karya akan ditentukan tersendiri.
Tapi betulkah daya saing hanya ditentukan dari upah? Berdasarkan database APO (The Asian Productivity Organization) tahun 2019, ada kontradiksi di mana tingkat produktivitas pekerja di Indonesia faktanya mencapai 26 ribu USD, jauh lebih tinggi daripada Vietnam, Kamboja, dan rata-rata ASEAN. Vietnam sendiri hanya 11,1 ribu USD dan rata-rata ASEAN 25 ribu USD. Pengusaha boleh saja menekan upah, bahkan kadang dengan enteng membandingkan upah Indonesia dan Vietnam. Tapi perlu dicatat, ada harga ada kualitas. Produktivitas pekerja di Vietnam tidak lebih baik dari Indonesia.
Masalah yang lebih serius dalam hal daya saing justru terletak pada ICOR (Incremental Capital Output Ratio). Indonesia memiliki ICOR di atas 6, menunjukkan bahwa berinvestasi di Indonesia itu tidak efisien. Salah satu faktor utamanya biaya logistik sudah mengambil 24% dari total kue ekonomi sendiri. Infrastruktur yang dibangun banyak yang kurang tepat sasaran, tidak berkorelasi dengan kepentingan menurunkan biaya logistik.
Investasi di Indonesia juga boros untuk biaya siluman. Pungli-pungli kecil sampai pungli kakap masih ramai berkeliaran, justru KPK dilemahkan. Padahal menurut World Economic Forum, hambatan dunia usaha yang paling besar adalah korupsi, kenapa di Omnibus Law tidak ada kata tegas untuk pemberantasan korupsi? Sungguh aneh.
Indonesia harusnya malu bukan pada Singapura atau Malaysia, tapi terhadap Rwanda. Negara kecil di Afrika yang baru selesai perang saudara tahun 1994 ini berhasil menduduki peringkat ke-38 dari 190 negara dalam peringkat Kemudahan Berbisnis edisi 2020. Sementara Indonesia masih mangkrak di peringkat 73. Bicara soal urusan dokumen ekspor, di Rwanda cukup 30 jam urusan selesai. Sementara Indonesia butuh 61 jam untuk urusan yang sama, dua kali lipat lebih lama dari Rwanda.
Dari banyak faktor, komitmen Rwanda memberantas korupsi berkorelasi dengan makin mudahnya bisnis berjalan. Peringkat Indeks Perspeksi Korupsi Rwanda ada di 51, anehnya Indonesia bangga di posisi 85. Kalau mau perizinan cepat, tidak perlu bicara revolusi 4.0 segala, atau mau ganti ASN jadi robot. Rwanda mencontohkan, pemberantasan korupsi yang loyo akar muasal dari bobroknya sistem perizinan di suatu negara. Birokrat Indonesia harusnya studi banding ke Rwanda bukan ke Australia atau Singapura.
Kinerja investasi di Era Pak Jokowi memang tidak bisa dibilang jelek-jelek amat. Tapi perdebatan bukan terletak pada nominal investasi, melainkan soal berapa banyak serapan tenaga kerja yang tercipta dari investasi yang masuk. Pertanyaan ini mudah dijawab dengan membandingkan kualitas serapan tenaga kerja per satu persen pertumbuhan ekonomi. Pada era SBY pertama, 1% pertumbuhan ekonomi mampu menyerap 467.000 tenaga kerja. Di Era pak Jokowi, sayangnya 1% pertumbuhan ekonomi hanya menyerap 426.000 tenaga kerja.
Serapan tenaga kerja lemas karena sektor jasa termasuk jasa perdagangan dan keuangan selalu di anak emaskan. Dari total investasi PMA yang masuk tahun 2019, sebanyak 57,5% adalah sektor jasa. Dalam omnibus law, meskipun banyak disinggung soal manufaktur, dan kawasan ekonomi khusus, pasal terkait klaster pertanian sangat mengganggu. Jika jasa impor dianak emaskan, alhasil kita akan masuk pada formula yang sama. Kualitas tenaga kerja turun. Investasi akan melepaskan diri dari sektor manufaktur, menyulap gudang menjadi tumpukan barang impor. Rente impor bersuka cita jika sampai omnibus law disahkan. Maka tujuan awal menciptakan lapangan kerja baru akan kontradiktif.
Jadi sudah terang benderang, mimpi menciptakan kualitas tenaga kerja yang unggul, dan memanfaatkan peluang bonus demografi tidak terwujud dalam draft Omnibus Law Cipta Kerja. Investasi abal-abal yang ingin dipacu masuk ke Indonesia, menjual SDA secara murah, eksploitasi pekerja dengan upah murah, ditambah aspek lingkungan dikebiri. Hasilnya lengkap sudah, Omnibus Law merupakan produk mutakhir dari oligarki yang itu-itu saja. Dengan pertimbangan akal sehat, maka sudah sepatutnya Omnibus Law tak perlu buang-buang waktu dibahas di DPR. Kembalikan naskahnya ke pemerintah, suruh mereka belajar kembali apa itu kualitas pertumbuhan ekonomi dan investasi.