JAKARTA, KOMPAS.com – Omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja resmi disahkan DPR menjadi Undang-Undang (UU) pada rapat paripurna, Senin (5/10/2020).
RUU Cipta Kerja merupakan RUU yang diusulkan Presiden Joko Widodo ( Jokowi) dan merupakan bagian dari RUU Prioritas Tahun 2020 dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2020.
Salah satu pasal yang disoroti yakni menyangkut pekerja alih daya atau outsourcing. Ada perubahan di Pasal 66 UU Nomor 13 Tahun 2003 yang direvisi di omnibus law UU Cipta Kerja.
Di UU Ketenagakerjaan, pekerjaan outsourcing dibatasi hanya untuk pekerjaan di luar kegiatan utama atau yang tidak berhubungan dengan proses produksi kecuali untuk kegiatan penunjang.
“Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi,” bunyi Pasal 66 UU Nomor 13 Tahun 2003.
Sementara di Pasal 66 UU Cipta Kerja, tak dicantumkan lagi batasan pekerjaan-pekerjaan apa saja yang dilarang dilakukan oleh pekerja alih daya.
Dengan revisi ini, UU Cipta Kerja membuka kemungkinan bagi perusahaan outsourcing untuk mempekerjakan pekerja untuk berbagai tugas, termasuk pekerja lepas dan pekerja penuh waktu. Hal ini akan membuat penggunaan tenaga alih daya semakin bebas jika tak ada regulasi lain turunan dari UU Cipta Kerja.
Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziah, tak menjelaskan secara spesifik apakah batasan pekerjaan outsourcing masih dibatasi atau diperluas dalam UU Cipta Kerja.
Dalam penjelasannya terkait revisi pasal outsourcing di UU Cipta Kerja, Ida hanya mengatakan kalau perubahan terjadi pada prinsip pengalihan perlindungan.
“Syarat-syarat dan perlindungan hak bagi pekerja dalam kegiatan alih daya atau outsourcing masih tetap dipertahankan. Bahkan dalam kegiatan alih daya UU ini memasukkan prinsip pengalihan perlindingan hak bagi pekerja apabilaa terjadi pergantian perusahaan alih daya,” kata Ida dalam keterangan resminya.
Karyawan Kontrak
Pasal krusial yang juga kontroversial dalam omnibus law Cipta Kerja adalah dihapuskannya Pasal 59 dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Di pasal tersebut, UU Ketenagakerjaan melindungi pekerja atau buruh yang bekerja di suatu perusahaan agar bisa diangkat menjadi karyawan tetap setelah bekerja dalam periode maksimal paling lama 2 tahun, dan diperpanjang 1 kali untuk 1 tahun ke depan.
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu,” bunyi Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003.
Pasal UU Nomor 13 Tahun 2003 tersebut secara eksplisit mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau yang biasa disebut dengan PKWT.
PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha atau perusahaan untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk jenis pekerjaan tertentu.
Dalam perjanjian PKWT juga mengatur kedudukan atau jabatan, gaji atau upah pekerja, tunjangan serta fasilitas apa yang didapat pekerja dan hal-hal lain yang bersifat mengatur hubungan kerja secara pribadi.
Kewajiban mengangkat karyawan tetap dihapus
Perusahaan hanya bisa melakukan kontrak kerja perjanjian PKWT paling lama 3 tahun. Setelah itu, perusahaan diwajibkan untuk mengangkat pekerja atau buruh sebagai karyawan tetap jika ingin mempekerjakannya setelah lewat masa 3 tahun.
Kewajiban pengangkatan status karyawan setelah melalui masa kontrak dan perpanjangan kontrak PKWT dilakukan karena perusahaan hanya diperkenankan membuat PKWT satu kali untuk satu orang karyawan ( karyawan kontrak).
Ketika sudah lewat 2 tahun atau diperpanjang kembali untuk 1 tahun, perusahaan hanya memiliki dua pilihan, yaitu tidak memperpanjang kontrak kerja atau mengangkatnya sebagai karyawan tetap.
“Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun,” bunyi Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003.
Sementara di RUU Cipta Kerja, pasal PKWT di UU Nomor 13 Tahun 2003 dihapus. Konsekuensi dari hilangnya pasal tersebut yakni perusahaan tidak lagi memiliki batasan waktu untuk melakukan perjanjian kontrak kerja dengan pekerjanya.
“Ketentuan Pasal 59 dihapus,” bunyi RUU Cipta Kerja yang sudah disahkan menjadi UU Cipta Kerja.
Perusahaan pemberi kerja bisa terus memperbaharui kontrak karyawannya tanpa perlu mengangkatnya menjadi karyawan tetap.
Dengan kata lain, UU Cipta Kerja akan mengizinkan perusahaan mengontrak karyawan atau pekerja atau buruh sebagai karyawan kontrak seumur hidup.
Aturan terbaru di omnibus law Cipta Kerja ini berlaku untuk seluruh perusahaan yang beroperasi di Indonesia, baik buruh pabrik, industri manufaktur, maupun pekerja kantoran.
Sebelumnya, Menurut Ketua Departemen Komunikasi dan Media Komite Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Kahar S Cahyono, dengan dihapusnya pasal tersebut, maka penggunaan pekerja kontrak yang dalam undang-undang disebut perjanjian kerja waktu tertentu bisa diperlakukan untuk semua jenis pekerjaan.
“Dengan dihapuskannya pasal 59, tidak ada lagi batasan seorang pekerja bisa dikontrak. Akibatnya, bisa saja seorang pekerja dikontrak seumur hidup,” kata Kahar dalam keterangan resminya.
Padahal, lanjut dia, dalam UU Ketenagakerjaan pekerja kontrak hanya dapat digunakan untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu.
Seperti, pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun.
Selanjutnya, pasal tersebut juga mengatur pekerjaan yang bersifat musiman atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Selain itu, pekerja kontrak tidak dapat digunakan untuk jenis pekerjaan yang bersifat tetap. Dengan demikian, berdasarkan pasal ini, selain pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu harus menggunakan pekerja tetap.
Padahal dalam pasal 59 UU Ketenagakerjaan, juga mengatur pekerja kontrak hanya dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Setelah itu, bisa dilakukan pembaharuan sebanyak satu kali untuk jangka waktu paling lama dua tahun.
“Jika omnibus law disahkan, maka perusahaan akan cenderung mempekerjakan buruhnya dengan sistem kontrak kerja. Tidak perlu mengangkat menjadi pekerja tetap,” ujar dia.
Lantaran menggunakan pekerja kontrak, maka dipastikan tidak ada lagi pesangon. Karena pesangon hanya diberikan kepada pekerja yang berstatus sebagai karyawan tetap. Selain tidak ada lagi kepastian kerja, secara tidak langsung pesangon juga akan hilang.