JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah saat ini tengah mengkaji usulan pengusaha terkait penghentian sementara atau moratorium perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) selama tiga tahun.
Hal itu diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto saat menjadi pembicara dalam Rakerkornas Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) ke-31 pada Selasa (24/8/2021).
Ia menjelaskan, kasus kepailitan dan PKPU mengalami peningkatan hingga kini ada 480 kasus yang tersebar di pengadilan Jakarta, Surabaya, dan sebagainya. Pemerintah pun melihat adanya indikasi moral hazard akibat mudahnya syarat pengajuan permohonan PKPU dan pernyataan pailit.
“Sekarang pemerintah sedang menjajaki hal tersebut, karena ini bukan hanya dimanfaatkan debitur tetapi beberapa kreditur juga menggunakannya sebagai bagian dari aksi korporasi mereka,” ujar Airlangga.
Menanggapi hal tersebut, Praktisi Kepailitan, Pengurus PKPU, dan Kurator Kepailitan, Januardo S. P. Sihombing mengatakan, pengajuan permohonan PKPU dan pernyataan pailit di pengadilan niaga memang tengah menjadi tren upaya penyelesaian utang-piutang antara debitor dan kreditor dalam beberapa tahun terakhir.
Namun demikian ia menilai, sebelum diterbitkannya aturan terkait moratorium tersebut, perlu kebijaksanaan dalam melihat secara utuh dan menyeluruh terkait instrumen PKPU maupun kepailitan.
“Terdapat perbedaan mendasar dari spirit yang dibawa oleh PKPU dan kepailitan,” ujar Januardo dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Kamis (26/8/2021).
PKPU merupakan wadah restrukturisasi dengan kepastian hukum berdasarkan putusan pengadilan, yang membawa spirit perdamaian (homologasi) antara debitur dan kreditur.
Ia mengatakan mekanisme PKPU hanya terbatas pada ruang solutif bagi para kreditur maupun debitur untuk melakukan diskusi dan negosiasi, serta pemungutan suara (voting) terhadap proposal perdamaian yang disusun secara kolektif berdasarkan kemampuan debitur sebagai pihak yang paling mengetahui kondisi keuangannya.
“Hal-hal yang disampaikan dalam proposal tersebut merupakan suatu restrukturisasi atau perbaikan atas perikatan yang terjadi sebelumnya,” kata dia.
Sementara dalam kepailitan, meskipun dimungkinkan adanya pengajuan proposal perdamaian, namun tendensi dari pengajuan permohonan pailit adalah adanya pemberesan atas harta debitur untuk dibagikan kepada para kreditur secara pari passu pro rata parte, yang dilakukan berdasarkan asas keadilan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UUK PKPU).
Ia menuturkan adanya konsekuensi hukum pailit apabila tidak tercapai perdamaian dalam PKPU yang telah diupayakan, bukanlah suatu pengabaian terhadap spirit perdamaian, melainkan merupakan bentuk kepastian hukum dari UUK PKPU.
Sebab kata dia, pengajuan permohonan PKPU maupun pernyataan pailit menganut prinsip presumed insolvency yaitu debitur tidak perlu dibuktikan dalam keadaan insolven melainkan diperkirakan dalam keadaan insolven.
“Dengan tidak diterimanya proposal perdamaian dalam PKPU, maka debitur telah dianggap tidak mau dan tidak dapat membayar kewajibannya, sehingga undang-undang memberikan kepastian hukum pembayaran kewajiban debitur melalui penerapan pemberesan terhadap harta debitur dalam proses kepailitan,” jelas Januardo.
Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu melanjutkan, dengan berpedoman atas spirit PKPU maupun kepailitan tersebut, maka untuk mengidentifikasi keselarasan tujuan dalam pelaksanaan hukum, perlu untuk menilik teori tujuan hukum Gustav Radbruch yang memiliki tiga tujuan yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Ia mengatakan ketiga tujuan tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan prioritas, hal mana keadilan merupakan prioritas pertama. Menurutnya, secara normatif, teori tersebut telah diadopsi dalam UUK PKPU yang secara nyata mencantumkan asas keadilan dalam penjelasan umum.
Asas ini dijadikan dasar untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitur tanpa mempedulikan kreditor lainnya. Selain itu, ditopang pula dengan asas lainnya yaitu asas keseimbangan sebagai perwujudan aturan pencegahan terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur maupun kreditor yang tidak beritikad baik.
Sedangkan unsur kemanfaatan diejawantahkan dengan adanya asas kelangsungan usaha bagi perusahaan debitur yang prospektif untuk dilangsungkan, dan unsur kepastian hukum diberikan melalui penetapan dan putusan pengadilan dalam setiap keputusan yang disikapi.
Januardo bilang, pencantuman asas-asas dalam UUK PKPU merupakan bentuk perpanjangan amanah dalam Pasal 33 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, sebagai dasar mengingat yang menyatakan perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
“Berdasarkan penilikan secara normatif tersebut, dapat dilihat bahwa PKPU merupakan sarana yang solutif bagi penyelesaian utang debitur karena didalamnya telah memuat unsur keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum,” kata dia.
Para kreditur mendapat kepastian dan kemanfaatan atas proses dan pembayaran utangnya yang disahkan atas dasar putusan pengadilan, dan debitur dapat menyusun rencana pembayaran sesuai kemampuannya. Hal ini dinilai membawa harapan tercapainya keadilan bagi kedua pihak.
Oleh karenanya, menurutt Januardo, moratorium PKPU yang akan menghentikan sementara pengajuan PKPU, justru berpotensi menghilangkan solusi efektif dan efisien yang telah disediakan oleh negara.
Apabila moratorium diterbitkan kata dia, para kreditur yang memperjuangkan haknya melalui pengadilan maka akan memilih jalur litigasi gugatan perdata maupun pidana sehingga akan membutuhkan waktu yang lebih lama, dan tujuan pelaksanaan hukum atas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum menjadi kurang terpenuhi.