Merdeka.com – Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Paul Butar Butar mengatakan, penerapan pajak karbon yang sedang direncanakan pemerintah dapat mendorong perwujudan ekonomi rendah karbon dan menjaga daya saing industri Indonesia. Menurutnya, penundaan atas pengenaan nilai ekonomi karbon akan berdampak negatif terhadap daya saing industri di pasar dunia.
“Penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di sektor ketenagalistrikan serta inisiatif rendah karbon yang digunakan di industri-industri lain merupakan contoh nyata pergerakan menuju ekonomi rendah karbon,” ujar Paul di Jakarta, dikutip Antara, Minggu (12/9).
Pendiri Prakarsa Jaringan Cerdas Indonesia (PJCI) Eddie Widiono juga mengatakan pasar dunia saat ini sudah bergerak dalam pengembangan ekonomi rendah karbon di segala lini dan menjadi pertimbangan dalam hubungan perdagangan bilateral dan multilateral.
Sebagai contoh, Uni Eropa, telah memulai diskusi dengan Parlemen Eropa mengenai implementasi Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang menyatakan produk-produk yang masuk ke pasar Uni Eropa akan mengalami penyesuaian harga sesuai dengan tingkat emisi karbon yang terkandung dalam produk tersebut.
“Penyesuaian juga menyangkut apakah negara asal produk tersebut sudah mengatur nilai ekonomi karbon,” katanya.
Untuk itu, dia menegaskan pentingnya nilai ekonomi karbon bagi daya saing sektor industri, apalagi Indonesia tidak memiliki keleluasaan untuk menunda penerapan nilai ekonomi karbon.
Selain itu, konsep daya saing sebuah negara di pasar global saat ini mengalami pergeseran, karena daya saing tidak hanya ditentukan oleh kualitas atau harga dari barang dan jasa, tetapi juga memperhitungkan biaya eksternalitas yang ditimbulkan dari jejak emisi karbon barang dan jasa.
“Menunda penerapan nilai ekonomi karbon dengan tujuan menjaga daya saing Indonesia sebenarnya kontraproduktif dalam kerangka berpikir daya saing global saat ini,” kata Eddie.
Sebelumnya, pemerintah telah menyiapkan dua skema atau alternatif yang dapat dijadikan kebijakan untuk pemungutan pajak karbon di Indonesia dengan tujuan memaksimalkan pendapatan negara seiring dengan adanya pengurangan emisi gas rumah kaca.
Skema pertama yaitu mengadakan pungutan pajak karbon dengan menggunakan instrumen perpajakan yang sudah tersedia saat ini. Sedangkan skema kedua, dengan membentuk suatu instrumen baru, yaitu adanya kebijakan tersendiri mengenai pajak karbon di Indonesia.
Namun, penerapan skema ini tengah mengerucut kepada alternatif kedua, mengingat pemerintah sedang berencana untuk menetapkan instrumen baru pungutan pajak dalam revisi dari UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).