0 0
Read Time:5 Minute, 12 Second


Setelah proses panjang yang memakan waktu kurang lebih 7 tahun proses pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri telah mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). Undang-Undang tersebut disahkan pada 25 Oktober 2017 melalui Sidang Paripurna DPR-RI.
Berlakunya UU PPMI menjadi angin segar bagi pekerja migran indonesia karena memiliki banyak kemajuan dalam beberapa aspek perlindungan. Di antaranya adalah aspek perlindungan yang telah mengadopsi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, yang juga telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang No.6 Tahun 2012.
Pelindungan bagi pekerja migran indonesia dilakukan sejak pekerja migran belum bekerja. Pasal 8 ayat (2) UU PPMI menjelaskan, “Perlindungan administratif paling sedikit meliputi: a. kelengkapan dan keabsahan dokumen penempatan dan b. Penetapan kondisi dan syarat kerja”. Pasal 13 menyebutkan, “untuk dapat ditepatkan di luar negeri, calon pekerja migran indonesia wajib memiliki dokumen yang meliputi : a. Surat keterangan status perkawinan, bagi yang telah menikah melampirkan fotokopi buku nikah; b. Surat keterangan izin suami atau istri, izin orangtua, atau izin wali yang diketahui oleh kepala desa atau lurah; c. Sertifikat kompetensi kerja; d. Surat keterangan sehat berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi; e. Paspor yang diterbitkan oleh kantor imigrasi setempat; f. Visa kerja; g. Perjanjian penempatan pekerja migran indonesia dan h. Perjanjian kerja.
Namun apa yang tertulis dalam UU tersebut tak selalu mulus dalam pelaksanaannya. Tidak sedikit pekerja migran Indonesia mengalami permasalahan di negara penempatan karena tidak memahami dan memiliki dokumen.
Dari data BNP2TKI, Jumlah Pengaduan Tenaga Kerja Berdasarkan Jenis Masalah TKI Tidak Berdokumen, tercatat tahun 2016 sejumlah 133 orang dan tahun 2017 sejumlah 387 orang. Itupun data pengaduan pekerja migran yang diterima oleh BNP2TKI, belum termasuk pengaduan yang diterima oleh lembaga-lembaga lain. Banyak pekerja migran tidak mengadukan kasusnya karena minimnya akses informasi, terbatasnya pengetahuan, tempat tinggal di daerah terpencil, takut dan lain-lain.
Dari data BNP2TKI, Jumlah Pengaduan Tenaga Kerja Berdasarkan Jenis Masalah TKI Tidak Berdokumen, tercatat tahun 2016 sejumlah 133 orang dan tahun 2017 sejumlah 387 orang. Itupun data pengaduan pekerja migran yang diterima oleh BNP2TKI, belum termasuk pengaduan yang diterima oleh lembaga-lembaga lain. Banyak pekerja migran tidak mengadukan kasusnya karena minimnya akses informasi, terbatasnya pengetahuan, tempat tinggal di daerah terpencil, takut dan lain-lain.
Dari pengalaman kasus yang diadvokasi oleh Migrant CARE, banyak pekerja migran Indonesia tidak memahami apa yang sebenarnya mereka tandatangani. Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia acap kali memaksa pekerja migran untuk segera menandatangi dokumen tanpa memberikan waktu untuk membaca dan memahami. Pekerja Migran Indonesia yang kebanyakan tidak mengenyam pendidikan menjadi salah satu penghalang mereka sulit memahami dokumen-dokumen yang disodorkan oleh Perusahaan Penempatan. Bahkan mereka tidak memiliki salinan dokumen tersebut.
Iming-iming bekerja di luar negeri dengan gaji tinggi menjadikan calon pekerja migran Indonesia mendaftar tanpa berpikir panjang mengenai syarat-syarat yang ditentukan Perusahaan Penempatan. Dalam suatu kasus, pekerja migran indonesia sektor formal yang dipekerjakan di Taiwan disyaratkan harus membayar sejumlah uang ke Perusahaan Penempatan, dengan besaran nominal sekitar Rp40 hingga Rp60 juta.
Ditambah lagi, mereka dipaksa menandatangani pinjaman dari Kredit Usaha Rakyat sekitar Rp20 juta. Akibat pinjaman tersebut, gaji harus dipotong dalam kurun waktu beberapa bulan. Sedangkan uang yang disetorkan ke Perusahaan Penempatan sulit untuk didapatkan kembali. Padahal biaya yang harusnya ditanggung pekerja migran indonesia sektor formal di Taiwan, berdasarkan Kep.Dirjen No 152 tahun 2009 sebesar Rp10.675.400.
Pekerja Migran Indonesia harus memahami dokumen-dokumen apa yang mereka tandatangani, selain itu juga wajib memiliki dokumen sebagaimana sesuai Pasal 13 UU PPMI. Pekerja Migran perlu meminta waktu kepada staf perusahaan yang memberikan dokumen agar dokumen dapat dibaca dan dipahami. Apabila ada sesuatu yang membingungkan dan mengganjal bertanyalah dan komunikasikan ke staf tersebut. Apabila sudah sepakat, ambil foto atau fotokopi dokumen-dokumen tersebut dan simpan sebagai dokumen untuk pekerja migran dan keluarga pekerja migran.
Hal itu perlu dilakukan untuk mengetahui apakah selama bekerja (gaji, over time atau gaji lembur, potongan gaji, libur kerja, jaminan sosial dan lain-lain) sesuai dengan perjanjian kerja. Apakah tempat kerja sesuai dengan perjanjian penempatan dan visa kerja sehingga tidak menyalahi aturan keimigrasian negara setempat, dan lain-lain.
Apabila selama bekerja tidak sesuai dengan dokumen-dokumen tersebut seperti bekerja lembur tidak digaji, potongan gaji yang tidak sesuai, atau permasalahan lain seperti PHK sebelum masa perjanjian kerja berakhir, gaji tidak dibayar, penipuan, tindak kekerasan dari majikan maka Pekerja Migran Indonesia harus berani melapor ke Perwakilan Republik Indonesia (KBRI/KJRI/KDEI) di negara penempatan. Pekerja migran indonesia juga bisa mendapatkan pendampingan atau advokasi dari serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, paguyuban di negera setempat, terlebih yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (pro bono/gratis).
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia selama bekerja diatur dalam Pasal 21 UU PPMI seperti di antaranya fasilitasi pemenuhan hak pekerja migran indonesia; fasilitasi penyelesaian kasus ketenagakerjaan; pendampingan, mediasi, advokasi, dan pemberian bantuan hukum berupa fasilitasi jasa advokat oleh Pemerintah Pusat dan/atau Perwakilan Republik Indonesia serta perwalian sesuai dengan hukum negara setempat.
Pekerja Migran yang memiliki dokumen akan lebih mudah untuk kasusnya diproses oleh Perwakilan Republik Indonesia karena dalam dokumen-dokumen tersebut akan diketahui identitas pekerja migran indonesia, identitas Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia, identitas majikan, hak dan kewajiban pekerja migran serta hak dan kewajiban majikan sesuai perjanjian kerja – sehingga dapat dengan mudah dianalisis dan memetakan strategi penyelesaian kasusnya.
Tentunya penyelesaian kasus di Perwakilan Republik Indonesia di negara penempatan tidak langsung terselesaikan. Pekerja migran indonesia juga harus melaporkan ke negara asal (Indonesia). Keluarga yang di daerah harus berupaya mewakili dan harus terlibat memperjuangkan hak-hak pekerja dengan cara pengaduan ke pemerintah daerah: Disnaker/BP3TKI/LTSP/LTSA atau ke pemerintah pusat: BNP2TKI, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Ketenagakerjaan.
Tentu melapor dengan membawa dokumen-dokumen yang telah diberikan pekerja migran indonesia kepada keluarga sebelum bekerja. Dokumen-dokumen tersebut sangat penting untuk dipahami dan dimiliki oleh pekerja migran indonesia dan keluarganya, demikian untuk menuntut hak-hak pekerja yang belum terpenuhi.
Bagi pekerja migran indonesia yang sudah pulang namun permasalahan selama bekerja di negara penempatan belum selesai juga dapat mengadukan kasusnya ke pemerintah. Sebagaimana sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) huruf c bahwa Pemerintah Pusat bersama-sama dengan Pemerintah Daerah memberikan Pelindungan setelah bekerja, “Penyelesaian hak pekerja migran indonesia yang belum terpenuhi”. Pekerja Migran Indonesia harus berani merebut hak-hak yang belum terpenuhi!

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

By kspsi

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *