0 0
Read Time:3 Minute, 46 Second


Jakarta – Pemilik sebuah klub di Selandia Baru Chris Dickson belakangan ini khawatir pegawainya kelelahan karena bekerja. Dia berharap persoalan visa kerja untuk dua pegawai asing yang ia ajukan cepat kelar, jadi masalahnya pun tuntas. Tapi, dokumen yang ia ajukan tertunda tanpa alasan yang jelas.

Satu-satunya jalan ialah menutup pub-nya beberapa hari sehingga chef dan bartendernya bisa istirahat.

“Kita benar-benar berusaha mencari orang untuk bekerja,” ujar Dickson dilansir Reuters, Selasa (28/5/2019).

Apa yang dialami Dickson adalah potret dari apa yang sedang terjadi di Selandia Baru, yaitu kurangnya pekerja dan dibatasinya pekerja dari luar.

Menurunnya angka imigrasi memperparah tingkat kekurangan tenaga kerja di Selandia Baru. Selain itu juga memukul ekonomi sampai-sampai bank sentral menyoroti masalah tersebut saat mereka memangkas suku bunga pertama kalinya sejak 2016 pada bulan ini.

Sejumlah pebisnis memprotes hal ini. Juga soal pengurusan visa kerja lebih lama dan sulit dibanding sebelumnya sejak Jacinda Ardern terpilih jadi perdana menteri.

Ardern mulai berkuasa pada 2017, dan menjanjikan langkah-langkah yang diprediksi bisa mengurangi perpindahan penduduk 10 ribu orang per tahun dan membatasi pembelian rumah bagi orang asing.

Tingkat pengangguran di Selandia Baru rendah, meski angka 4,2% terbilang tidak rendah oleh standar global.

Ekonom mengatakan, permintaan untuk pekerja asing dikhususkan ke beberapa sektor, di mana orang lokal tidak tertarik, yaitu sektor pertanian, hostapility, atau sektor konstruksi, di mana orang lokal kurang keahlian.

Sektor tersebut, sayangnya, adalah sektor yang kontribusinya diandalkan oleh Selandia Baru demi pertumbuhan.

“Perpindahan penduduk ini sudah sangat dominan dari siklus ekonomi kita dan kita pikir ini memudahkan dan berkontribusi pada profil pertumbuhan yang lebih lambat ANZ Senior Economist Miles Workman.

Bank sentral bulan ini memperkirakan imigrasi kelas pekerja turun ke angka 29.000 di 2021. Sebelumnya, di angka 40.000 di 2018 dan puncaknya 72.400 pada pertengahan 2017.

Keadaan ini sebagian besar disebabkan karena pembatasan visa kerja yang mulai dirilis masa-masa akhir pemerintahan pusat-kanan, namun bertahan di bawah koalisi yang dipimpin Partai Buruh.

Pemerintahan di bawah pimpinan Arden pada Desember lalu menyebut akan memperketat peraturan visa sementara untuk pekerja, demi memberikan peluang yang lebih besar untuk orang lokal. Selain itu, tujuannya juga untuk meningkatkan pelatihan kejuruan.

Sebenarnya, aturan ini belum benar-benar diperketat. Tapi beberapa pelaku bisnis mengatakan bahwa pemerintah mengambil langkah yang lebih keras, sehingga menyebabkan proses penerbitan visa lebih lambat. Bagi pengusaha, ini menimbulkan ketidakpastian.

Saat dimintai keterangan, kementerian imgirasi mengamini soal proses menjadi lambat, tapi mereka menyebut ini hanya masalah operasional.

“Saya menaruh perhatian pada tertundanya visa dan Imigrasi Selandia Baru terus memberikan saya kabar-kabar terbaru soal perbaikan dan peningkatan waktu pemrosesan,” tutur Menteri Imigrasi Selandia Baru, Iain Lees Galloway pada Reuters.

Meski begitu, dia menyebut pemerintah tak mau para pebisnis menjadikan pekerja asing jadi pilihan utama mereka.

Dia mengatakan, beberapa visa pekerja asing dan manager restoran ditolak. Alasannya karena kurang adanya bukti bahwa ada pelatihan dan strategi yang dilakukan oleh industri ini untuk mempekerjakan orang lokal.

“Ini bukan berarti mereka tidak bolah mempekerjakan orang asing. Ini hanya berarti mereka harus memuaskan pasar lokal dulu sebelum merekrut orang asing,” ujarnya.

Dickson, si pemilik pun sudah mencoba untuk mempekerjakan orang lokal. Sayang, jumlahnya tidak cukup. “Pemerintah harus membuat satuan tugas dengan pebisnis lokal untuk mendapatkan solusi ini,” ujarnya.

Sementara itu, Menteri Keuangan Grant Robertson mengatakan bahwa pemerintah fokus pada imigrasi untuk kawasan yang benar-benar butuh, dan meningkatkan keterampilan pekerja lokal.

“Saya kira kita tidak butuh lebih banyak orang yang datang, tapi kita harus memastikan kita mendapatkan orang yang tepat bagi Selandia Baru,” tuturnya.

Persoalan tenaga kerja ini juga memukul bisnis Fleur Caulton, seorang pemilik restoran di South Island di Dunedin, Selandia Baru. Dia terpaksa harus menutup restorannya yang bernama Madam Woo.

“Sulitnya mencari chef membuat saya tambah stress dan tertekan, di satu sisi tim dapur sudah tak bisa bertahan,” ujar Caulton.

Persoalan terbatasnya tenaga kerja di Selandia Baru ini berdampak negatif pada sejumlah sektor. Di sektor pertanian, diperkirakan akan berdampak pada ekspor kiwi senilai US$ 782 juta. Sekolah dan ruah sakit juga mengeluhkan hal yang sama.

Industri konstruksi mengatakan bahwa mereka butuh 50.000 pekerja terampil pada 2023 untuk memenuhi kebutuhan.

Perusahaan konstruksi terbesar di Selandia Baru, Fletcher Building Ltd tahun lalu menutup dan menjual proyeknya yang merugikan lantaran biaya pekerja. Proyek infrastruktur yang besar seperti kereta bawah tanah Auckland menghabiskan biaya hingga lebih dari 1 miliar dolar Selandia Baru.

“Kita butuh kemampuan untuk mengirim (pekerja),” ujar Shane Ellison, kepala proyek Auckland Transport.

“Bila kita tidak melakukannya sekarang, kita tidak bisa melakukannya 2-3 tahun ke depan,” tambahnya.

Industri bekerja sangat keras mencoba dan menarik pekerja asing terampil.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

By kspsi

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *