Jakarta – Tenaga kerja Indonesia (TKI) atau pekerja migran Indonesia (PMI) masih menghadapi modus-modus yang mencekik. Sehingga mereka yang niatnya mencari rezeki justru buntung karena terbebani biaya.
Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mengungkapkan, salah satu yang menjadi kendala bagi PMI adalah biaya penempatan. BP2MI sering menemukan calon PMI (CPMI) yang terbebani biaya yang sangat besar atau overcharging.
Peraturan BP2MI Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pembebasan Biaya Penempatan Pekerja Migran Indonesia. Namun pembebasan biaya penempatan itu hanya berlaku bagi 10 sektor yakni pengurus rumah tangga, pengasuh bayi, pengasuh lanjut usia, juru masak, sopir keluarga, perawat taman, pengasuh anak, petugas kebersihan, petugas landing atau perkebunan, dan awak lapal perikanan migran.
Nah untuk di luar kriteria pekerja itu, pemerintah membantu dengan memberikan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang diberikan maksimal Rp 25 juta. Pada dasarnya tujuan utama KUR untuk PMI sendiri adalah untuk meringankan biaya kepada calon PMI (CPMI). Sebab PMI dibebani biaya penempatan yang tidak sedikit.
“Kalau kita lihat bahwa selama beberapa tahun terakhir banyak kendala objektif di lapangan. Banyak para peserta KUR dari CPMI terbebani biaya yang sangat luar biasa, atau overcharging. Bahkan laporan perwakilan kita di Taiwan banyak yang sampai 100% dikenakan bunganya,” kata
Sekretaris Utama BP2MI Tatang Budie Utama Razak dalam rapat dengan Komisi IX, Kamis (25/3/2021).
Namun pemberian KUR itu juga ternyata masih menjadi kendala di lapangan. Salah satunya karena belum adanya keputusan tentang komponen biaya penempatan itu sendiri.
Kemudian hingga saat ini belum ada aturan batasan kurs. Sehingga terkadang para PMI harus membayar kewajibannya dalam mata uang negara dia bekerja, sementara mereka meminjam dalam bentuk rupiah.
“Jadi mereka meminjam di rupiah harus membayar di mata uang setempat. Sehingga penetapan kurs ini sangat tergantung pada institusi keuangan di negara tersebut dan di Indonesia,” terang Tatang.
Permasalahan lainnya pembayaran gaji dari PMI belum diberikan langsung ke rekening PMI. Sehingga pengguna jasa PMI atau agen penyalur di negara setempat memotong langsung pinjaman untuk biaya penempatan tersebut dari gaji mereka.
Parahnya lagi masih sering terjadi praktik overcharging bermodus tunai. Jadi PMI menandatangani perjanjian pinjaman untuk biaya penempatan dengan syarat tunai.
“Dalam kasus yang kami tangani banyak sekali mereka yang diberikan pinjamannya secara tunai. Si calon pekerja harus tanda tangan tanpa tahu risikonya. Ketika diminta pembayaran juga diminta tunai,” terangnya.
“Kami pernah ke Taiwan menemukan overcharging yang sangat luar biasa, akhirnya kita selesaikan. Kita kenakan sanksi ke P3MI (Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia),” tambah Tatang.
Selain itu kendala KUR untuk membantu CPMI sendiri masih berkutat pada lamanya proses pengajuan kerjasama dari P3MI ke perbankan. Lalu dana pencairan KUR juga dilakukan di akhir setelah PMI sampai ke negara tujuan penempatan.