VIVA – Karir di bidang Information Technology atau IT saat ini tengah menjadi primadona seiring majunya perkembangan zaman. Banyaknya perusahaan yang melibatkan teknologi membuat kebutuhan tenaga IT ikut melonjak. Namun sayangnya kurikulum yang ada belum memadai, terutama jika dilihat dari basis komputer sains.
“Menurut saya kurikulum IT saat ini belum bisa memenuhi kualitas mahasiswa saat mereka menghadapi dunia kerja, masih sangat kurang. Akibatnya mahasiswa dan alumni sulit berkembang atau mengembangkan sesuatu yang baru,” ujar salah satu pengajar di Universitas Telkom Bandung, Suwandi kepada VIVA.co.id melalui sambungan telepon, beberapa waktu lalu.
Lalu solusinya adalah mendorong mahasiswa untuk mempelajari materi, diikuti dengan basic science yang mendasarinya. Dia menyadari, mahasiswa cenderung mengabaikan pengajar jika diminta untuk mempelajari dasar-dasar sains.
“Mereka merasa tidak perlu melakukan itu karena bisa menggunakan aplikasi hanya dengan menggunakan jari. Hal tersebut menjadikan mahasiswa hanya sekedar pengguna saja, bukan sebagai pengembang IT,” katanya.
Kendala berikutnya yang terjadi ialah perilaku mahasiswa yang serba instan. Ia menyebut banyak dari mereka yang tidak mandiri, malas membaca buku dan bergantung pada hasil dari apa yang mereka cari di internet. Sehingga membuatnya sulit untuk berkembang.
Ditemui di tempat yang berbeda, Kepala Balitbang SDM Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, Basuki Yusuf Iskandar, mengamini pernyataan dosen Universitas Telkom tersebut. Dia menyebut memang ada gap antara jumlah lulusan IT dengan kualitas SDM IT yang jumlah lulusannya naik 20 persen setiap tahun.
“Memang ada gap yang harus dipenuhi. Salah satu program penutupan lubang gap yang kita lakukan adalah digital literasi,” kata Basuki.
Oleh karena itu kerja sama dengan berbagai pihak mereka kebut untuk dilakukan secepatnya. Bahkan Basuki sendiri telah melakukan pembicaraan dengan pihak Kamar Dagang Indonesia (Kadin) untuk mencari tahu lebih mendalam terkait permasalahan dan solusi untuk meningkatkan kualitas sumber daya IT di Indonesia.
Hal yang sama juga diungkap Rektor Universitas Padjajaran Bandung, Prof. Dr. Med. Tri Hanggono Achmad. Menurutnya, kolaborasi semua pihak sangat penting untuk mendorong produktivitas lulusan SDM IT, terutama para mahasiswa. Oleh karena itu, ekosistemnya harus dibangun sejak dini.
“Dari sudut pandang akademis, kami melihat pentingnya pembangunan ekosistem untuk mendorong produktivitas mahasiswa, khususnya dalam bidang teknologi. Saya melihat pentingnya kolaborasi antara pemerintah, dunia pendidikan dan pihak industri seperti Huawei, untuk membentuk ekosistem yang baik untuk mendukung tercapainya revolusi industri di Indonesia,” ujarnya.
Baru-baru ini, Basuki juga telah menyaksikan adanya kerja sama institusi pendidikan di Indonesia dengan perusahaan swasta asal China, Huawei. Oktober 2018 lalu, perusahaan global penyedia solusi teknologi informasi dan komunikasi Huawei mengumumkan penyelenggaraan Kompetisi ICT di Indonesia yang pertama sebagai bagian dari kemitraan Huawei ICT Academy (HAINA) dengan delapan perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Universitas Padjadjaran yang dipimpin Tri Hanggono merupakan salah satu dari 8 kampus mitra Huawei yang digandeng.