Kendari, CNN Indonesia — PT Gema Kreasi Perdana (GKP) memutuskan untuk menghentikan sementara aktivitas perusahaannya di Pulau Wawonii Kabupaten Konawe Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Akibat kebijakan itu, sebanyak 300 karyawan menerima pemutusan hubungan kerja (PHK) dan sebagian alat beratnya ditarik ke lokasi lain di Pulau Obi Provinsi Maluku Utara.
Manager Operasional PT GKP Bambang Murtiyoso menyatakan pihaknya menghentikan sementara aktivitas tambang karena mesti melakukan konsolidasi dan evaluasi kembali terhadap investasi mereka.
“Kita terhambat karena pembangunan jalan hauling oleh tiga pemilik lahan yang belum dibebaskan. Sementara, alat berat kita tarik,” kata Bambang saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (12/2).
Bambang menyebut total karyawan yang bekerja dengan status kontrak di anak perusahaan Harita Group itu sebanyak 500 orang. Sebanyak 300 orang sudah di-PHK.
“Sisanya menyusul. Kita efisiensi dulu dan kita sesuaikan dengan masa kontra mereka (pekerja),” jelasnya.
Ia mengatakan akibat penghentian aktivitas ini, perusahaannya merugi sebab selama 1,5 tahun menggaji karyawan tanpa produksi.
“Ini konsekuensi investasi dan kami berharap Pemda Konkep membantu memperhatikan situasi ini,” katanya.
Meski demikian, lanjut dia, penghentian ini sifatnya sementara saja. Perusahaan akan kembali beraktivitas jika komunikasi dengan pemerintah daerah sudah terbangun termasuk dengan tiga pemilik lahan yang enggan membebaskan tanahnya untuk jalan hauling perusahaan tambang nikel tersebut.
“Jadi, tidak semua alat berat ditarik. Hanya beberapa saja. Kita tidak berhenti, hanya setop sementara saja sambil lakukan pendekatan dengan pemda dan pemilik lahan,” imbuhnya.
Sejauh ini, kata dia, sudah 400 hektare lahan milik warga yang dibebaskan. Namun, aktivitas perusahaan terhalang tiga orang warga yang enggan melepas lahannya.
“Agak keras sekali tiga orang ini. Tanahnya tidak mau dijadikan lahan tambang. Kita akan kaji kembali dan mencari jalur alternatif yang lebih aman agar perusahaan tidak berurusan dengan konflik dan perseteruan,” tuturnya.
Berhentinya aktivitas tambang ini disambut baik oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).
Kepala Kampanye Jatam Melky Nahar mengatakan penghentian aktivitas tambang di pulau kelapa itu seharusnya tidak sementara.
Menurut Melky, jika benar PT GKP di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara memutuskan untuk berhenti sementara, beberapa catatan penting wajib diketahui oleh seluruh masyarakat Pulau Wawonii dan publik luas, termasuk yang paling utama, adalah bagi pemerintah, pusat dan daerah.
Pertama, kehadiran anak usaha Harita Group di Wawonii telah menimbulkan konflik sosial yang besar dan berkepanjangan, mulai dari skala rumah tangga, kampung, hingga desa.
“Konflik seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya, artinya, semua dipicu oleh kebijakan pemerintah daerah yang menerbitkan izin tambang tanpa melibatkan masyarakat lokal, tidak sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat,” katanya kepada CNNIndonesia.com.
Melky melanjutkan, masyarakat Wawonii yang terpolarisasi dalam pro dan kontra, mesti paham bahwa mereka semua adalah korban dari kebijakan yang salah dan tindakan perusahaan yang tampak sengaja membangun konflik.
“Kini, perusahaan memutuskan berhenti sementara, meninggalkan konflik yang tak berujung, tidak peduli dengan masalah yang dibuatnya sendiri,” ujarnya.
Kedua, PT GKP telah tiga kali menerobos lahan masyarakat, semuanya dikawal ketat aparat keamanan. Penerobosan itu, selain merusak tanaman warga berupa kelapa, jambu mete, pisang, dan tanaman sejenisnya, juga berbuntut pada kejahatan lain, yakni dilaporkannya 27 warga Wawonii ke polisi.
“Artinya, pihak perusahaan tak peduli dengan nasib warga, mau dipenjara, diintimidasi, diteror, semuanya dibebankan ke masyarakat. PT GKP hanya peduli dengan bisnisnya semata,” terangnya.
Ketiga, PT GKP juga tengah merampungkan terminal khusus, yang keberadaannya tepat di Pesisir Roko-Roko. Pembangunan terminal khusus ini diduga melanggar hukum, tidak memiliki izin lingkungan.
“Artinya, pihak perusahaan dengan sengaja membangun sesuatu, meski hal itu tidak memiliki legalitas hukum. Di sisi lain, pemerintah abai, bahkan seolah ikut melegitimasi pembangunan tersus ini,” ujarnya.