Industri kelapa sawit kini tengah mengalami masa sulit. Harga crude palm oil (CPO) Indonesia sedang mencapai titik terendah sejak 2015 yaitu berada di kisaran USD 450 per ton ini. Kondisi CPO yang menjadi pendulang devisa negara koyak karena perang dagang minyak nabati global.
“(India) Penghasil biji bunga matahari yang besar satu provinsi itu, kalau AS (Amerika Serikat) mereka mempertahankan minyak kedelai, di Eropa beda lagi, ada beberapa jenis minyak nabati yang diproduksi,” ungkap Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara kepada kumparan, Senin (19/11).
Bhima mengingatkan pula jika saat ini Uni Eropa sedang melakukan pembahasan soal rencana penggunaan energi terbarukan dengan tagline free palm oil. Jika hal itu terjadi, hanya tinggal menghitung waktu setidaknya tahun 2030 program itu berjalan dan CPO Indonesia kian tersisih di pasar Eropa.
Apalagi, kata dia, berbagai black campaign yang marak tersebar juga berpengaruh besar bagi image CPO Indonesia di luar negeri. Isu black campaign yang disuarakan mulai dari isu deforestasi, lingkungan dan kesehatan, hak asasi manusia (HAM), hingga hal lainnya yang menyudutkan industri sawit Indonesia.
“Menggambarkan sawit bermasalah itu diciptakan terus secara konsiten ya akhirnya ganggu market,” ucapnya.
Menyoal itu, Bhima menyarankan Indonesia tak ada salahnya belajar dari Malaysia dalam mengelola industri sawit. Utamanya soal pengoptimalan produktivitas sawit dengan proyeksi saat ini hingga masa mendatang.
Diketahui, produktivitas sawit di Indonesia terbilang kecil dengan 2 ton per hektare, sementara Malaysia sudah bisa mencapai 10 ton per hektare. Bhima menegaskan, kondisi itu tak lepas dari langkah serius pemerintah Malaysia terkait industri sawit yaitu dengan membentuk lembaga khusus yang bertanggung jawab menangani persawitan bernama Malaysia Palm Oil Board (MPOB).
“Di situlah semua kebijakan sawit, itu levelnya setara kementerian jadi benar-benar kuat dan bertanggung jawab langsung di bawah presiden, perdana menteri Malaysia,” terangnya.
Adapun beberapa peran MPOB itu mulai dari melakukan riset bibit yang bagus, memberikan pendampingan pekebun memilih pupuk yang baik, hingga mendorong replanting pada tanaman sawit yang mulai menua. Sebagaimana yang menjadi masalah di Indonesia.
“Supply (sawit Indonesia) itu sebenarnya memang over supply, tapi produktivitasnya ke depan bisa mengalami penurunan karena pohon yang ditanam sudah sejak Orde Baru 20 tahun lalu,” kata Bhima.
Maka dari itu, Bhima mengimbau agar sawit Indonesia segera dilakukan replanting secara berkesinambungan dan terukur. Sebagaimana di Malaysia, Bhima menyebut di sana pemerintah memberikan kredit untuk menyokong cash flow industri selama masa replanting.
“Karena kan replanting itu butuh waktu 3 tahun sampai dia menghasilkan buah. Dan masa 3 tahun itu kan petani puasa ibaratnya, enggak ada penghasilan apa-apa nah itu tadi, (Malaysia) dibantu melalui kredit replanting itu, jadinya 1 hektare bisa 10 ton gitu,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Bhima mendorong agar Indonesia juga sebaiknya berani menjajal pasar baru potensial di luar tradisional yang selama ini menjadi andalan. Jadi, tidak hanya bergantung pada pasar India dan Eropa.
“Eropa itu oke masih cukup lumayan, tapi negara seperti Rusia itu butuh banyak minyak sawit dari indonesia, Afrika itu juga butuh. Timur Tengah beberapa butuh, maksudnya kita harus memperkuat pasar lain,” tegasnya.
Menurut Bhima, satu yang tak kalah penting ialah Indonesia mesti juga belajar untuk menangkal black campaign dengan cara cerdas. Seperti yang dilakukan Malaysia, negara tetangga itu memiliki ahli dagang dan diplomasi hukum untuk menekan isu negatif yang beredar di industri sawit negaranya.
“Bergaining power pemerintah indonesia untuk membela sawit itu di level internasional masih lemah. Di Malaysia dia bisa menghire lawyer yang mahal, bahkan lawyer asing yang profesional disuruh belain sawitnya Malaysia,” timpalnya.
Tak hanya diplomasi internasional yang harus diperkuat Indonesia, katanya negara ini juga perlu bijak mengelola isu-isu sawit dalam negeri. Selain memang pemerintah benar-benar menegakkan aturan kepada industri, upaya pengawasan secara adil terhadap berbagai gerakan yang bertujuan melakukan black campaign.
“NGO asing ya terutama, sedangkan di Malaysia NGO diperketat ya pengawasannya apalagi Malaysia menyadari sawit ini adalah sektor strategisnya mereka. Sehingga yang di Indonesia bergerak terlalu liar gitu, akhirnya jadi bumerang bagi Indonesia sendiri,” pungkasnya.