tirto.id-Pandemi COVID-19 yang berlangsung hari ini tak hanya mengakibatkan lebih dari 2,8 juta jiwa merenggang nyawa, tetapi juga menghancurkan ekonomi. Di seluruh dunia, menurut laporan International Labour Organization (ILO), 225 juta pekerjaan melayang, menyebabkan rerata nilai produk domestik bruto (PDB) dunia turun hingga 4,4 persen alias setara dengan USD 3,7 triliun. Dari angka tersebut, 81 juta pekerjaan yang menghilang berasal dari Asia Pasifik (termasuk Indonesia) dan 7,7 juta lainnya dari Amerika Serikat.
Pandemi telah menyengsarakan seisi dunia. Tapi ada beberapa pihak yang diuntungkan olehnya. Salah satunya Amazon, perusahaan yang didirikan Jeff Bezos.
Bisnis Amazon makin menggeliat di tengah pandemi yang mengharuskan segala urusan dilakukan dari rumah. Masyarakat AS membeli tisu, makanan, pakaian, dan berbagai kebutuhan lainnya dari Amazon. Walhasil, sejak Januari hingga Oktober 2020 lalu, Amazon merekrut 427.300 pekerja baru dan menjadikannya salah satu tempat kerja terbesar di dunia.
Per akhir 2020, 1,3 juta orang di seluruh dunia bekerja untuk Amazon.
Sayangnya, Amazon bukan tempat kerja ideal, khususnya buat buruh gudang. “Meskipun Amazon terlihat sebagai perusahaan high tech,” tulis Brad Stone dalam The Everything Store: Jeff Bezos and the Age of Amazon (2013), “kunci utama bisnis Amazon terletak pada para pekerja kasar di bagian gudang.
” Karyawan gudanglah yang memastikan ketersediaan produk, memproses pesanan yang masuk, serta menyiapkan segala tetek-bengek administratif sebelum barang dikirim. Namun, meskipun menjadi pilar penting, mereka dibayar murah oleh Amazon. “Hanya 10 hingga 15 persen dari keseluruhan pekerja gudang yang berstatus karyawan tetap,” tulis Stone. Rata-rata karyawan gudang Amazon diupah USD 10-12 per jam tanpa asuransi kesehatan. Jika pekerja membawa kendaraan pribadi untuk bekerja, mereka harus rela membayar biaya parkir.
Amazon sukses mempekerjakan banyak orang karena “mendirikan gudang di wilayah-wilayah yang miskin lowongan kerja alias di daerah kumuh atau tempat-tempat imigran.” Amazon pun menciptakan sistem nyeleneh untuk karyawan gudang: sistem poin. Telat masuk kerja, setengah poin. Tidak masuk, meskipun dengan alasan sakit, tiga poin. Bekerja tak sesuai ekspektasi, sekian poin menanti. Amazon akan main pecat jika pekerja sudah mengumpulkan enam poin. Tak hanya itu, Amazon mencurigai buruh-buruh gudangnya mencuri sampai-sampai manajemen memasang CCTV untuk mengawasi mereka. Namun, para pekerja gudang yang diwawancarai Stone rupanya tidak pernah melihat aksi pencurian. Bagi Amazon, kata salah seorang pekerja gudang bernama Randall Krause, “semua orang adalah calon maling”.
Shirin Ghaffary, dalam laporannya untuk Vox, menggambarkan Amazon sebagai bisnis yang lebih mementingkan konsumen daripada keselamatan dan kesejahteraan para pekerjanya. Tatkala pandemi membuat bisnis Amazon semakin moncer, manajemen perusahaan hanya berpikir soal menambah jumlah pekerja tanpa mempedulikan protokol kesehatan. Pihak manajemen pun tertutup soal kemungkinan pekerja yang positif Corona dan menularkannya ke karyawan lain.
Erika Hayasaki, dalam laporannya untuk The New York Times, menyatakan ketakutan para buruh gudang Amazon terpapar Corona lebih bergema di media sosial alih-alih di kantor Amazon sendiri. “Mereka tidak mengumumkan kasus kedua hingga lebih dari dua minggu setelah pekerja yang positif melaporkan,” tulis salah satu anggota di grup Facebook karyawan Amazon. “Sekarang ada kasus ketiga dan hingga dua minggu kemudian kami masih belum diberi tahu. Jika kami tidak sharing info di grup Facebook, kami bahkan enggak bakal tahu itu,” kata pengguna lainnya.
Usai ditekan untuk memberikan informasi secara transparan, Amazon akhirnya menyatakan terdapat 19.816 orang pekerja gudang terpapar Corona hingga akhir 2020 lalu. Jumlah ini diperkirakan jauh lebih kecil dari kenyataan.
Rosie, karyawan gudang Amazon di Staten Island, New York, mengaku bahwa bekerja di Amazon selama pandemi “sangat menakutkan”. Tetapi semua pekerja di sini, imbuhnya, “harus tersenyum dan tetap bekerja karena butuh pemasukan”.
Seperti Mandor Pabrik Abad ke-19, Jeff Bezos Benci Serikat Buruh
Alasan-alasan itulah yang membuat para pekerja gudang Amazon makin menghendaki dibentuknya serikat buruh, sesuatu yang telah diinginkan sejak lama. Namun, kembali merujuk Stone, manajemen Amazon selalu menyatakan bahwa “pembentukan serikat buruh tidak akan pernah ditoleransi perusahaan”.
Bezos, yang kekayaannya mencapai USD 188,6 miliar, lahir pada 1964. Tapi, kebencian yang luar biasa terhadap serikat buruh membuat Bezos lebih mirip mandor pabrik Victorian kelahiran 1864.
Dalam sejarahnya, Amazon tak segan main pecat terhadap pekerja yang berusaha membentuk serikat. Amazon bahkan bisa nekat menutup gudangnya untuk mencegah terbentuknya serikat buruh. Pada Januari 2001, misalnya, Amazon menutup divisi call center di Seattle karena kuatnya tuntutan pembentukan serikat buruh. Pada 2013, meskipun serikat buruh Amazon telah dibentuk di Jerman, manajemen menganggapnya sebagai organisasi ilegal. Lalu, pada awal 2020, seorang pekerja gudang bernama Christian Smalls dipecat setelah memimpin aksi mogok di gudang Amazon di Staten Island. Aksi ini dilakukan agar serikat buruh bisa berdiri. Sebagaimana dilaporkan Paul Blest untuk Vice, Amazon pun mencap Smalls sebagai sosok yang “goblok dan banyak bacot”.
Amazon mengklaim Smalls dipecat karena melanggar peraturan 14 hari karantina yang diberlakukan perusahaan bagi siapapun yang melakukan kontak dengan pekerja yang positif COVID-19. Namun, Smalls mengatakan bahwa sebelum dirinya dipecat, pekerja yang sehat dan sakit campur aduk bekerja di gudang Amazon.
Kini, 6.000 pekerja gudang di Alabama akhirnya menjadi yang pertama melakukan pemungutan suara terkait pembentukan serikat buruh. Meskipun hasilnya belum diketahui hingga saat ini, Amazon selalu berupaya membendung pembentukan serikat buruh di Alabama dan tempat-tempat lain.
Laporan Ken Klippenstein untuk The Intercept mengungkapkan bahwa pengerahan pasukan siber (cyber army) atau buzzer adalah salah satu cara yang ditempuh Amazon untuk menghalau pembentukan serikat. Para buzzer ini bertugas menciptakan opini positif tentang Amazon di media sosial, khususnya Twitter. Dibentuk pada 2018 dengan sandi “Veritas”, ‘panasbung’ bentukan Bezos ini terdiri dari para pekerja Amazon dipilih perusahaan.
Berdasarkan dokumen yang diterbitkan The Intercept, pasukan siber Amazon wajib menjunjung tinggi tiga prinsip utama, yakni “Katakan Kebenaran”, “Pertahankan Kepercayaan Pelanggan”, dan “Rasa Hormat”. Ironisnya, segala prinsip tersebut hanya memiliki satu muara: mendorong pasukan siber untuk menggaungkan narasi betapa asyiknya bekerja di Amazon. Dengan kata lain, mereka dibayar untuk berbohong. Tatkala ada warganet di Twitter yang berbicara tentang kebusukan Amazon, pasukan siber segera membanjirinya dengan kicauan-kicauan pro-Amazon. Inilah yang terjadi, misalnya, pada Senator Bernie Sanders yang pernah mencuit tentang kenyataan bahwa ada pekerja gudang Amazon yang terpaksa harus kencing di botol karena dilarang ke toilet.
“Anda tidak benar-benar percaya tentang kisah kencing dalam botol, kan?” atau, “pekerjaan ini tidak pernah membuat saya merasa tidak nyaman secara pribadi. Jika Anda memiliki pekerjaan yang membuat Anda tidak nyaman, Anda bisa mengundurkan diri (dan cari pekerjaan lain).” Kira-kira begitulah bunyi serangan-serangan buzzer tersebut.
Aksi penggagalan pembentukan serikat buruh juga dilakukan melalui pemutusan akses pekerja gudang pada Amazon Phone Tool, alat yang disediakan Amazon untuk melihat identitas seluruh karyawannya. Selain itu, Amazon pun kini memberlakukan sistem moderasi dalam penggunaan email perusahaan. Ingat, ponsel dan email: dua alat yang dapat membantu penyebaran informasi antar-pekerja tentang pembentukan serikat buruh.
Perlakuan yang buruk Amazon terhadap karyawan gudang terjadi sejak Amazon mengaku sebagai perusahaan teknologi, bukan perusahaan ritel (familiar, kan?).
Perusahaan Teknologi, Titik
Pada 30 Juli 2005, Amazon merayakan ulang tahunnya yang ke-10 secara meriah di Benaroya Hall, Seattle, Amerika Serikat. Kala itu, pesohor Hollywood seperti James Patterson, Jim Collins, Lawrence Kasdan, Bob Dylan, dan Norah Jones ikut memeriahkan acara yang disiarkan melalui laman khusus di Amazon.com.
Namun, di tengah kemeriahan itu, Amazon menyimpan rasa kecewa. Musababnya, sebagaimana dicatat Brad Stone dalam The Everything Store, meskipun Amazon telah sah menjadi salah satu perusahaan tersukses di dunia, tetap saja internet dikuasai Google. “Ini zamannya Google, bukan Amazon,” tulis Stone. Ini, tambah Stone, “era para ilmuwan komputer bergelar PhD, bukan eranya mereka yang memiliki gelar MBA dari Harvard atau hedge-fund dari Wall Street (alias Jeff Bezos).
“Google, melalui tangan dingin Larry Page dan Sergey Brin, sukses menulis ulang sejarah internet. Di sisi lain, Amazon hanya titik kecil dalam dunia internet, karena “kenyataan bahwa Amazon adalah perusahaan ritel, bukan teknologi.”
Jeff Bezos, putra tiri imigran Kuba yang bisnis olah kayunya disita Fidel Castro pasca-Revolusi 1959, sulit menerima kenyataan itu. Berulang kali ia katakan bahwa “Amazon adalah perusahaan teknologi yang mempelopori e-commerce, bukan perusahaan ritel”. Sayang, hingga ulang tahunnya yang ke-10, Amazon memang lebih layak dicap perusahaan ritel, bukan sebaliknya. Kala itu, praktis tidak ada software-as-service yang dimiliki Amazon sehingga segala keuntungan yang diperoleh perusahaan hanya bersumber dari laba jualan barang. Pengguna yang hendak mencari dan berbelanja bahkan pertama-tama melakukan pencarian melalui Google sebelum ke Amazon.
Amazon berbenah demi mendapat pengakuan sebagai perusahaan teknologi. Pertama-tama, Amazon mengangkat veteran teknisi user-interface (UI) asal Apple bernama Larry Tesler, sebagai “Vice President of Shopping Experience”. Lalu, Bezos merekrut profesor machine-learning asal Stanford University bernama Andreas Wigend dan mendaulatnya sebagai “chief scientist.” Terakhir, perusahaan ritel ini membajak profesor ilmu komputer asal University of Washington bernama Udi Manber. Amazon menjadikan penulis buku berjudul Introduction to Algorithms: A Creative Approach (1989) ini tangan kanan Bezos.
Melalui tangan para veteran teknologi ini, Amazon mulai bertarung dengan Google (dan perusahaan Silicon Valley lainnya) dalam memperebutkan anak muda lulusan STEM dari Stanford, MIT, Harvard, dan kampus Ivy League lainnya. Tak tanggung-tanggung, meskipun berkantor pusat di Seattle, Washington, Amazon membentuk divisi khusus di jantung Silicon Valley, California, demi menggaet talenta berkualitas. Akhirnya, tak lama usai perayaan ulang tahun ke-10, Amazon merilis sistem pencarian barang plus ad-buying system bernama Urubamba (diambil dari nama sungai di Peru agar sinkron dengan “Amazon”, sungai yang mengalir di Brazil). Lalu, Amazon pun merilis alat bernama Look Inside the Book–teknologi yang membuat segala teks dalam buku dapat dicari melalui kolom khusus pada situs Amazon.
Sejak kemunculan Look Inside the Book, majalah Wired mendaulat Bezos sebagai “sosok penerus visi Alexandria”–perpustakaan Mesir Kuno yang mahsyur itu.
Berkat Larry Tesler, Andreas Wigend, dan Udi Manber, Amazon akhirnya sukses mengukir prestasi didunia internetnya sendiri melalui Kindle, Amazon Echo, Alexa, dan yang paling penting, Amazon Web Service (AWS). Perlahan bisnis teknologi Amazon mencuat, meskipun jualan barang tetap menjadi segmen yang paling moncer. Pada 2020, misalnya, selain memperoleh pendapatan senilai USD 197,35 miliar dari berjualan barang, Amazon meraup pemasukan senilai USD 92,03 miliar dari produk teknologi atau software-as-service.
Amazon, yang mendaku sebagai perusahaan teknologi (dan mulai sukses dengan teknologi yang mereka jual), akhirnya menciptakan ketimpangan upah yang sangat besar. Para pekerja teknologi, misalnya teknisi software, rata-rata digaji USD 117.372 (sekitar Rp1,7 miliar) per tahun atau USD 9.781 per bulan atau USD 326 per hari atau USD 36,2 per jam (dengan asumsi bekerja selama 9 jam per hari).
Bandingkan dengan buruh-buruh gudang Amazon yang hanya diberi upah USD 12 per jam–dengan kemungkinan tertular COVID-19 dan tanpa asuransi kesehatan.