0 0
Read Time:2 Minute, 30 Second

Liputan6.com, Jakarta – Perdebatan publik tentang Rancangan Undang-undang Cipta Kerja terlalu timpang bicara mengenai kepentingan para pekerja. Sementara porsi pembicaraan tentang mereka yang tidak bekerja kurang mendapat tempat.

Demikian Arianto Patunru, ekonom Australian National University, pada diskusi bertajuk “Menyoal konflik dalam RUU Cipta Kerja dan Dampaknya bagi Segala Sektor” yang diselenggarakan Forum Mahasiswa Ciputat, akhir pekan lalu.

“Seringkali orang melihat aturan ketenagakerjaan dalam konteks mereka yang sudah bekerja. Padahal aturan ketenagakerjaan juga pasti mempengaruhi mereka yang sedang mencari kerja,” kata Arianto, melalui keterangan tertulis, Senin (21/9/2020).

Karena itu, menurutnya, kepentingan pencari kerja juga perlu diperhatikan. “Kita perlu melebarkan observasi, baik dari supply side atau yang sudah bekerja dan yang belum bekerja,” ujarnya.

Juga perlu melihat dari sisi mereka yang membutuhkan tenaga kerja, dalam hal ini perusahaan. Supply side dan demand side harus diperhitungkan.

Arianto juga menjelaskan, jika aturan ketenagakerjaan hanya dilihat dari sisi pekerja saja, maka yang dipikirkan hanyalah bagaimana memaksimalkan kepastian kerja atau job security bagi para pekerja. Dampaknya adalah terpinggirkannya kepentingan para pencari kerja, yang membutuhkan akses yang mudah untuk mendapatkan pekerjaan.

“Supaya mereka mudah mendapat pekerjaan, kita perlu masuk dalam cara pandang pihak yang membutuhkan tenaga kerja, yakni pelaku usaha. Kita perlu menggunakan kaca mata mereka,” tambah Ketua Australian National University (ANU) Indonesia Project ini.

Bagi demand side, menurutnya, beberapa faktor yang dipertimbangkan adalah tentang gaji, berapa lama pekerja itu bisa bekerja, benefit atau tunjangan, misalnya pada aspek kesehatan, rumah, dan seterusnya.

Besarnya pesangon adalah salah satu persoalan yang banyak dikeluhkan oleh banyak pengusaha. Ini membuat iklim investasi kurang ramah bagi para pelaku usaha untuk menanamkan modalnya.

“Tingkat pesangon di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia. Lebih tinggi dari negara-negara tetangga. Tinggi dalam pengertian jumlah bulan gaji untuk pesangon,” tegas Arianto.

Doktor ekonomi lulusan University of Illinois, Amerika Serikat, ini bercerita tentang studi yang pernah dia lakukan di kawasan industri Jakarta Timur. Salah satu temuan studi tersebut adalah bahwa para pengusaha umumnya mengeluhkan masalah firing and hiring, bukan tentang upah minimum.

“Soal upah minimum mereka tidak terlalu keberatan. Yang berat bagi mereka adalah sistem firing dan hiring di Indonesia yang relatif lebih memberatkan daripada di negara-negara lain,” katanya.

Usul RUU Cipta Kerja

Namun di sisi lain, Arianto melihat juga ada persoalan pada aspek kompensasi pada para pekerja. Karena itu, dia mengusulkan agar dalam RUU Cipta Kerja, jumlah pesangon dikurangi, tetapi perlu ditetapkan semacam unemployment benefit atau tunjangan pemutusan hubungan kerja yang layak.

Pengajar pada Crawford School of Public Policy, ANU, ini menyimpulkan bahwa RUU Cipta Kerja sudah bagus karena berusaha melihat persoalan secara keseluruhan. Sehingga di sana ada ruang negosiasi.

“Ada severance payment sangat tinggi, tapi job security kurang: tunjangan pekerja dan kemudahan mendapatkan asuransi seperti BPJS kurang jelas,” katanya.

Arianto menambahkan bahwa seharusnya pembahasan tentang RUU Cipta Kerja juga lebih difokuskan pada kepastian berusaha. Menurutnya, ide dasar dari RUU Cipta Kerja adalah menyederhanakan peraturan sehingga memudahkan urusan bisnis.

“Dampak dari penyederhanaan aturan itu salah satunya adalah investasi semakin bertambah dan iklim berbisnis jadi lebih baik dari sebelumnya,” tegas Arianto. (Pramita tristiawati)

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

By kspsi

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *