TRIBUNBATAM.id- Perang dua kutub perdagangan dunia, China vs Amerika dan digital distruption, memicu resesi ekonomi kawasan di Asia Pasifik.
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di Kota Batam, diyakini sebagai salah satu efek regional, yang masih akan terasa.
Data dari otoritas ketenaga kerjaan di kota berpenduduk 1,3 juta jiwa, menyebutkan, hingga Juni 2019, sudah sekitar 900 pekerja yang dirumahkan.
Pekerja ini tercatat dari 27 industri, dan belum termasuk sekitar 1010 pekerja dari dua manufaktur elektronik, PT Unisem dan PT Foster Elektronik Indonesia.
Jika tahun 2017 dan 2018 lalu, industri logam dan metal jadi sektor penyumbang ‘PHK’ terbanyak, tahun ini badai PHK itu datang dari sektor manufaktur elektronik.
Tahun 2018 lalu, Disnaker mencatat ada sebanyak 60 usaha tutup di Batam, dan sekitar 3000-an angkatan kerja kehilangan ladang nafkah keluarga.
Perusahaan yang melepas hak hubungan industrial tahun lalu itu, industri skala besar.
Tahun 2019 ini, PT Foster Elektronik Indonesia dan PT Unisem, mengurangi unskilled worker hingga dekati angka 1.000 orang.
Perusahaan elektronik pembuat perangkat sound system, merelokasi perusahaan Myanmar.
“Sebagian besar tenaga kontrak, yang tidak diperpanjang lagi” kata Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Batam, Rudi Sakyakirti
Beruntung, gelombang PHK itu melandai saat PT Unisem, yang sudah melaporkan rencana penutupan pabrik di September 2019 nantI, masih mempertahankan hampir setengah (805) dari 1.505 pekerjanya.
“Laporan yang kami terima, mereka masih ada order untuk 6 bulan kedepan, jadi hanya PHK sekitar 700 karyawan,” ujar Rudi kepada wartawan di Batam, Rabu (28/9/2019).
Di DPRD Kota Batam, awal pekan ini, efek PHK juga mulai dirasakan PT Persero, perusahaan jasa angkutan barang di pelabuhan.
Dimediasi DPRD, karyawan dan perwakilan perusahaan jasa yang berkantor di Batu Ampar ini, tengah mencari ‘kata sepakat”.
Meski PHK berlanjut, Rudi yang juga mantan Kadis Perdagangan dan Perindustrian Kota Batam ini, tetap optimstis, angka pengangguran di kota Industri terbesar di Sumatera ini, tak akan tampil mencolok.
Mengapa?
Meski ada entitas usaha yang tutup, namun ada juga investor baru yang masuk.
Dia mencontohkan, investor asal Taiwan, PT Pegatron Technology Indonesia, yang berdomisili di kawasan industri Batamindo, Mukakuning, Batam, melaporkan akan membutuhkan 800 pekerja baru hingga akhir 2019 ini.
Industri chain supply gadget dan elektronik ini, kata Rudi melaporkan, sejak Mei lalu sudah mempekerjakan 300 tenaga lokal.
“Kalau peralatan baru sudah datang, akan mencukupkan hingga 800 orang,”
Data dinas yang dipimpinnya, mencatat tahun ini saja ada 4 investor baru, yang bisa menyerap hingga 1500 pekerja.
“Selain itu ada perusahaan ekspansi, artinya biasanya karya 1.000 ditambah dua ratus, seratus. Jadi sebenarnya terhadap PHK ini mereka berputar-putar di sini saja. Ada yang tutup ada yang buka,” katanya.
Optimisme Rudi, bertambah sebab di APBD 2019 ini, pemerintah mengalokasikan dana cadangan Rp 19 miliar untuk program pelatihan bagi karyawan PHK.
Target peserta 2.000 angkatan kerja itu dilatih dan dimagangkan di sejumlah industri yang masih memiliki prospek.
Optimisme lainnya, dengan jumlah penduduk Kota Batam hingga 2019 ini mencapai 1,3 juta, pertumbuhan penduduk tertinggi pertama di Indonesia, sektor pekerja jasa bidang properti, konstruksi, hospitality, seperti hotel, kuliner dan pusat perbelanjaan, dan keuangan, masih memiliki prospek bagus.
Data dari Dinas Tenaga Kerja Batam, hingga Juni 2019 ini, jumlah pekerja mencapai 390 ribu orang.
Jumlah perusahaan atai industri di Batam 7,218 unit.
Sedangkan jumlah ekspatriat atau pekerja asing mencapai sekitar 3.500 orang.
Pertambahan indusri properti khususnya residensial, seperti apartemen, juga akan berkontribusi besar.
Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam Edy Putra Irawady, sebelumnya, mengungkapkan, gelombang PHK itu terjadi, akibat kebijakan induk usaha di luar negeri, yang merampingkan skala bisnis, dan mencari lokasi investasi dimana upah buruhnya lebih murah daripada di Batam.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Batam, pertumbuhan industri manufaktur di Batam pada 2013 masih berada di angka 7,07%.
Angka itu negatif di tahun 2017 melorot menjadi tinggal 1,76%.
Angka serupa juga relatif sama dengan yang dialami di Singapura dan Malaysia, dua negeri tetangga Batam.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Batam mayoritas berasal dari industri pengolahan berkontribusi signifikan terhadap dengan sumbangsih sekitar 55%.
Optimisme lainnya, datang dari sisi perdagangan.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Batam mengungkapkan nilai ekspor Kota Batam Januari-Juni 2019 terbesar melalui Pelabuhan Batu Ampar sebesar US$1,52 miliar,
disusul Pelabuhan Sekupang US$ 844,61 juta, Pelabuhan Belakang Padang US$522,77 juta, dan Pelabuhan Kabil/Panau US$522,77 juta.
Kontribusi keempat pelabuhan terhadap kumulatif ekspor Januari-Juni 2019 di wilayah tersebut sebesar 99,80%.
Menteri Perdagangan Airlangga Hartarto, di Jakarta, pekan lalu, menyebut redupnya geliat industri di Batam.
Faktor utama yakni daya saing pengusaha yang turun, dan kebijakan soal logistik.
“Ini karena efek global, dan berubahnya perilaku konsumen di era digital. Namun di laur itu, sendi-sendi bisnis di Kota Batam, tetap bisa menaikkan angka pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.