TEMPO.CO, Jakarta – Nasib 1.400 karyawan PT Kertas Nusantara-sebelumnya PT Kiani Kertas-sampai saat ini masih terkatung-katung. Pemerintah Kalimantan Timur kemarin menyebut akan membahas nasib karyawan yang dirumahkan itu pada bulan depan.
“Rencananya akan ada gelar perkara membahas nasib karyawan Kertas Nusantara bulan depan nanti,” kata Koordinator Dinas Tenaga Kerja Kaltim Pengawas Wilayah Utara, Sab’an, Senin 25 Februai 2019.
PT Kertas Nusantara diketahui adalah milik Prabowo Subianto dan adik kandungnya, Hashim Djojohadikusumo. Sejak lima tahun lalu, perusahaan ini mengalami masalah keuangan. Menurut Sab’an manajemen perusahaan tidak mampu membayar gaji yang menjadi tuntutan karyawan.
Bagaimana awal mula masalah yang mendera perusahaan ini?
April 1991
Cerita soal Kiani Kertas dimulai sejak didirikan oleh pengusaha Muhammad Hasan atau yang lebih dikenal sebagai Bob Hasan pada 4 April 1991. Setelah tujuh tahun beroperasi, Bob terpaksa menandatangai perjanjian penyelesaian utang (MSAA) senilai Rp 8,91 triliun dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 1998. Ini terjadi lantaran Bank Umum Nasional milik Bob berutang kepada negara sebanyak Rp 8,917 triliun. Sehingga sejumlah aset milik Bob harus diambil negara, salah satunya yaitu Kiani Kertas.
Oktober 2003
Setelah Kiani Kertas berada di tangan BPPN, PT Bank Mandiri Tbk pun mengambil alih aset kredit Kiani Kertas senilai utang yang mampu dibayar dengan arus kas Kiani, yaitu US$ 201,242 juta atau Rp 1,8 triliun. Pembelian dilakukan bersama anggota konsorsium PT Anugra Cipta Investa milik Prabowo Subianto. Dana yang digelontorkan Bank Mandiri US$ 170 juta.
Namun saat itu, Mandiri hanya bertindak investor dan Kiana Kertas tetap dimiliki sepenuhnya oleh Prabowo. Sehingga dalam hal ini, perusahaan milik mantan Pangkostrad inilah yang berutang ke Mandiri. Adapun jabatan komisaris utama dijabat oleh Luhut Binsar Panjaitan yang sekarang menjadi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman.
Maret 2004
Setahun setelah pembelian, Kiani Kertas mengajukan permohonan restrukturisasi alias penundaan pembayaran utang kepada Bank Mandiri. “Saya hanya minta. Berapa tahun kami kammpu, ya tolong terima,” kata Luhut saat itu dalam wawancara bersama wartawan Tempo, Setri Yasra di Jakarta, 17 Maret 2004. Selain masalah utang, perusahaan saat itu juga mengalami masalah operasional dan modal kerja setidaknya sebesar US$ 50 juta untuk
Januari 2005
Di tengah persoalan tersebut, sang adik, Hashim Djojohadikusumo masuk menjadi investor Kiani Kertas lewat perusahannya yang bernama Novela. Suntikan dana sebesar US$ 50 juta pun mengalir masuk ke kas Kiani Kertas. Suntikan modal ini juga berlangsung tak lama setelah Bank Mandiri sepakat untuk merestrukturisasi utang dari Kiani Kertas.
April 2005
Barulah dua tahun sejak pembelian, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mempersoalkan ketidakhati-hatian Bank Mandiri mengambil alih kredit Kiani Kertas dari BPPN. Salah satu bentuk ketidakhati-hatian itu adalah analisa risiko dan persetujuan dewan komisaris baru diberikan seminggu setelah aksi korporasi bank pelat merah itu.
Juli 2005
Tak hanya di BPK, kasus ini pun masuk dalam ranah penyidikan Kejaksaan. Sebab, Tim Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung mencurigai adanya tindak pidana korupsi dalam proses pengambilalihan tagihan utang Kiani.
Sehingga, untuk pertama kalinya, Prabowo Subianto diperiksa Kejaksaan Agung sebagai saksi dalam kasus kredit macet Bank Mandiri di Kiani Kertas, “Saya pemegang saham, jadi saya bertanggung jawab sekarang,” ujarnya seusai pemeriksaan di gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Juli 2005.
April 2007
Setelah melalui sejumlah penyidikan, Kejaksaan Agung pun menetapkan tiga mantan direksi Bank Mandiri sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengalihan aset kredit ke Kiani Kertas. Ketiganya adalah Direktur Utama edward Cornelis William Neloe, Wakil Direktur Utama I Wayan Pugeng, dan Direktur Corporate M, Sholeh Tasripan.
Desember 2008
Di tengah berbagai terpaan masalah tersebut, Kiani Kertas toh tetap melanjutkan produksi. Kapasitas produksi saat itu rata-rata mencapai 1000 ton pulp setiap hari dan kebutuhan kayu yang mencapai 4000 ton. Perusahaan juga berubah nama, dari Kiani Kertas menjadi Kertas Nusantara sejak Maret 2007.
Tapi kemudian, manajemen Kertas Nusantara melakukan pemecatan terhadap 900 karyawannya. Pemecatan dilakukan karena perusahaan tengah menghadapi ancaman gulung tikar atau nyaris bangkrut, lagi-lagi karena masalah utang. Kali ini, Kertas Nusantara berutang sebesar sebesar Rp 142 miliar pada PT Multi Alphabet Dinamika dan kesulitan membayarnya. Tapi pemecatan tak berjalan mulus karena masih ada tagihan janji pembayaran gaji kepada para karyawan. Sehingga, para karyawan ini pun mulai menuntut hak mereka.
November 2009
Ratusan karyawan PT Kertas Nusantara akhirnya mengancam mogok kerja karena adanya tunggakan gaji ini. Ketua Serikat Pekerja Perkayuan dan Perhutanan Indonesia, PT Kertas Nusantara Ahmad Helmi saat itu mengatakan, sejak empat bulan silam gaji dari 900 karyawan perusahaan tak kunjung dibayar. Selain itu, 200 pegawai lainnya yang kini bekerja merawat mesin belum digaji.
“Kami ingin menuntut hak kami sebagai buruh yang dirumahkan, pihak manajemen terus menghindar,” kata Helmi. Menurut dia, perusahaan telah mengingkari kesepakatan antara manajemen dan para karyawan.
Dalam dokumen kesepakatan antara buruh dan manajemen, pekerja atau buruh yang dirumahkan akan diberikan upah dengan komponen upah pokok, tunjangan lokasi, uang sewa rumah, dan 50 persen dari uang fasilitas kebutuhan penunjang. Namun, menurut Helmi, para buruh hanya menerima rata-rata 25 persen dari total gaji pokok.
“Rata-rata para buruh hanya mendapatkan Rp 350 ribu per bulan sejak Juli. Sisanya belum ada kejelasan dari perusahaan kapan akan dilunasi,” katanya. Dia mengaku sudah meminta dinas tenaga kerja setempat untuk menangani masalah ini, namun tak kunjung selesai.
Februari 2019
Hampir 10 tahun berlalu, namun persoalan tunggakan gaji karyawan Kertas Nusantara ini terus berlarut hingga hari ini. Total karyawan yang telah dirumahkan mencapai 1.400 orang dan perusahaan juga sudah bertahun-tahun tidak beroperasi alias mati suri. “Perusahaan ini sudah tidak beroperasi bertahun-tahun sehingga gagal membayar gaji karyawan,” kata Sab’an.