Jakarta, CNN Indonesia — Kemampuan investasi menyerap tenaga kerja di Indonesia kian menurun. Hal itu disebabkan oleh peralihan investasi dari sektor manufaktur ke jasa.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) sepanjang periode Januari-September 2019 pada sektor manufaktur sebesar Rp 147,3 triliun atau merosot 33,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, Rp222,3 triliun.
Di saat yang sama, penyerapan tenaga kerja dari realisasi investasi kian melandai. Pada sembilan bulan pertama tahun ini, serapan tenaga kerja tercatat 703,3 ribu orang atau susut 0,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, 704,8 ribu orang.
“Investasi di sektor sekunder semakin ditinggalkan karena semakin tidak memberikan insentif bagi investor, justru sektor ini menyuguhkan banyak masalah,” ujar Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus dalam diskusi online, Minggu (10/11).
Ia merinci sejumlah permasalahan investasi sektor manufaktur antara lain persoalan lahan, ketenagakerjaan, biaya logistik, fiskal, hingga regulasi daerah.
Tak hanya itu, sambung Ahmad, investasi sektor sekunder di Indonesia juga tidak efisien. Dalam hal ini, untuk memproduksi 1 unit barang di Indonesia diperlukan lebih banyak modal, dibanding barang yang sama diproduksi di negara lain.
Padahal, sektor manufaktur merupakan sektor padat karya atau banyak menyerap tenaga kerja.
Di sisi lain, sambungnya, sektor perdagangan digital, fintech, transportasi online, dan platform digital lainnya semakin diserbu konsumen dengan pertumbuhan mencapai dua digit.
“Jelas investor tergiur investasi ke sektor-sektor tersier ini,” terangnya.
Laju investasi sektor tersier lebih dari dua kali lipat angka pertumbuhan nasional yang terjebak di kisaran 5 persen. Namun, sektor ini lebih kedap terhadap penyerapan tenaga kerja.
“Tumbuhnya sektor jasa di Indonesia bukan ditopang oleh industri yang kuat. ,” jelasnya.
Seharusnya, kemajuan sektor jasa ditopang oleh industri yang kuat dan disokong oleh Sumber Daya Manusia berkualitas.
Merosotnya daya serap investasi terhadap tenaga kerja membuat dampaknya dalam mendorong perekonomian tidak optimal.
Ekonom Senior Indef Didik J Rachbini menilai hal itu terjadi karena absennya program induk pemerintah untuk mendorong sektor manufaktur, ekspor dan peningkatan sumber daya manusia.
Dalam hal ini, sejak 2012, kinerja pertumbuhan ekonomi kian menurun dari 6,5 persen menjadi ke kisaran 5 persen akibat merosotnya kinerja ekspor. Kondisi ini berlanjut hingga periode pertama pemerintahan Joko Widodo.
Seharusnya, ketika gejala tersebut muncul, pemerintah mengatasinya dengan penyesuaian struktural seperti era 1980-an yang cukup sukses.
“Pemerintah (Jokowi) gagal untuk menjalankannya pada periode pertama. Jika tetap dengan pola sebelumnya, maka saya khawatir investasi tetap seperti ini dan ekspor terus tertinggal dibandingkan Thailand, Vietnam, dan lain-lain,” jelasnya.