Jakarta, CNBC Indonesia – Manajemen maskapai BUMN PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) mengungkapkan dampak yang dialami akibat pandemi virus corona (Covid-19). Perseroan masih melakukan pengurangan produksi atau kapasitas baik di rute domestik maupun internasional di tengah dampak pandemi Covid-19 yang menghantam industri penerbangan global dan domestik.
Selain itu, perusahaan juga melakukan efisiensi guna mengurangi beban perusahaan demi bertahan di tengah pandemi yang juga dirasakan oleh maskapai lainnya di dunia.
Mitra Piranti, VP Corporate Secretary Garuda, mengatakan jumlah karyawan yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) saat ini sebanyak 18 orang. Namun mengenai jumlah PHK yang dilakukan oleh perseroan kepada pegawai dari Januari 2020 sebagaimana tertuang dalam Hasil Survey sebelumnya adalah PHK dalam kondisi biasa dan tidak berkaitan dengan kondisi pandemi Covid-19.
“Data PHK dalam Hasil Survey yang kami sampaikan sebelumnya merupakan data PHK atas permintaan karyawan sendiri, PHK karena masa kontrak telah selesai, PHK karena meninggal dunia dan jenis PHK lainnya yang dilakukan bukan sebagai akibat dari adanya pandemi Covid-19,” katanya dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin malam (15/6/2020).
“Adapun untuk koreksi jumlah PHK per tanggal 31 Mei 2020 sebagai dampak dari Covid-19 sebanyak 18 orang. Mohon perkenan Bapak/Ibu untuk mengacu kepada data tersebut sebagai referensi,” jelas Mitra.
Dia mengungkapkan bahwa pada akhir Desember 2019 jumlah karyawan tetap dan tidak tetap mencapai 7.878 dan saat ini jumlahnya menjadi 7.600 atau berkurang 278 orang.
“PHK 18 orang, dirumahkan 825 orang,” katanya dalam informasi di BEI tersebut.
Adapun jumlah karyawan yang terdampak dengan status lainnya (contoh pemotongan gaji 50%, dan lainnya) mencapai 7.184 karyawan.
Operasional
Mitra Piranti mengatakan sejak pandemi Covid-19 berlangsung, perseroan mengalami penurunan dari sisi produksi, seiring dengan implementasi kebijakan pemerintah dengan penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di beberapa provinsi/daerah serta negara lainnya.
Sampai saat ini, data per 12 Mei 2020, perseroan masih melakukan pengurangan produksi atau kapasitas baik di rute domestik maupun internasional.
Untuk rute Internasional di region Timur Tengah atau MEA (Middle East) dan Tiongkok (China) masih diberlakukan penghentian total sampai pemberitahuan lebih lanjut.
Sedangkan, di region lain seperti SWP (South West Pacific/Australia), JPK (Jepang Korea), EUR (Eropa) dan ASA (Asia) masih diberlakukan pengurangan frekuensi sebesar 60-80% dari total frekuensi normal.
“Pengurangan frekuensi ini bersifat fluktuatif tiap harinya di mana disesuaikan dengan demand dan perkembangan kondisi di negara ataupun daerah tersebut,” katanya.
Untuk dapat mempertahankan dan meningkatkan kinerja keuangan perseroan di kondisi buruk seperti ini, perseroan juga membeberkan beberapa rencana strategis baik dari sisi keuangan dan operasional.
Dari sisi keuangan, cashflow atau arus kas merupakan hal yang paling penting untuk menjaga berjalannya bisnis atau keberlanjutan (Going Concern) perusahaan.
Garuda Indonesia mempunyai dua kategori biaya yang sangat berpengaruh terhadap pengeluaran kas yaitu biaya tetap yang meliputi biaya sewa pesawat, biaya pegawai, administrasi kantor pusat dan kantor cabang dan biaya variabel penerbangan yang meliputi biaya bahan bakar, biasa kestasiunan, biaya catering, biaya navigasi dan biaya tunjangan terbang bagi awak pesawat.
“Agar Garuda Indonesia tetap beroperasi, maka kami melakukan beberapa strategi yaitu melakukan negosiasi dengan lessor untuk penundaan pembayaran sewa pesawat (lease holiday), dan memperpanjang masa sewa pesawat untuk mengurangi biaya sewa per bulan.”