Jakarta, CNN Indonesia — Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menyebut buruh di Indonesia kurang produktif lantaran hanya memiliki 40 jam kerja dalam seminggu. Produktivitas buruh tersebut disinyalir sebagai alasan para investor enggan melirik Indonesia sebagai tujuan investasi.
Hanif mengungkapkan jam kerja buruh di Indonesia kalah panjang dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara. Menurut data International Labour Organization (ILO), jam kerja terbanyak dicatat Myanmar selama 49 jam kerja, Brunei Darussalam sebanyak 47 jam kerja, dan Malaysia selama 46 jam kerja.
Hanya saja, sambung ia, Indonesia terbilang susah untuk meningkatkan jam kerja. Pasalnya, jam kerja selama 40 jam dalam sepekan sudah diatur melalui Pasal 77 Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sementara itu, menurutnya, lama jam kerja pasti selalu berkorelasi positif terhadap produktivitas buruh.
“Coba lihat deh, ini saja (produktivitas) sudah tidak kompetitif. Sementara di luar sana, kompetisi terus terjadi,” jelas Hanif, Senin (23/9).
Tak hanya lama jam kerja, Hanif menyebut jam kerja yang kaku juga dipandang mempengaruhi produktivitas buruh Indonesia. Saat ini, menurutnya, UU Ketenagakerjaan tidak mengakomodasi jam kerja yang lebih fleksibel bagi beberapa golongan angkatan kerja.
Sebagai contoh, saat ini wanita yang masih produktif tapi sudah memiliki anak selalu dihadapkan pada dua pilihan, yakni bekerja dengan jam kerja penuh atau fokus mengurus keluarga. Padahal sebenarnya, angkatan kerja perempuan yang sudah berkeluarga bisa melakukan kedua-duanya asal jam kerjanya lebih fleksibel, misalnya bekerja antara pukul jam 11.00 hingga 14.00 saja.
“Jadi ini adalah contoh dari kekakuan ekosistem ketenagakerjaan Indonesia. Padahal, jam kerja yang lebih fleksibel ini on the track (sejalan) dalam penciptaan lapangan kerja dan bisa meningkatkan produktivitas,” jelas Hanif.
Tak hanya soal jam kerja, ia juga menyebut beberapa ketentuan UU Ketenagakerjaan yang selalu dikeluhkan investor. Misalnya hari libur yang banyak yang mempengaruhi produktivitas buruh dan mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang prosedurnya berbelit-belit.
Sebagai gambaran, di dalam UU Ketenagakerjaan, terdapat 22 pasal yang mengatur soal mekanisme PHK tersebut.
“Sehingga, kesimpulannya adalah kami harus mendorong pasar tenaga kerja ini lebih fleksibel, karena empat dari 10 masalah utama investasi ini ada di masalah tenaga kerja,” jelas dia.
Meski demikian, ia mengaku pemerintah belum berencana untuk terburu-buru dalam merevisi UU Ketenagakerjaan. Sejauh ini, pihaknya masih melakukan diskusi dan menyerap aspirasi dari dunia usaha dan pekerja.
“Kami masih kaji apa saja yang menjadi aspirasi, misalnya, butuh aspirasi apa saja, kami kaji. Keinginan dari pengusaha apa, kami kaji. Sekali lagi posisinya adalah masih dalam tahap kajian dan serap aspirasi, jadi belum ada draf yang keluar,” tutur dia.