Merdeka.com – Pelaku industri tekstil Indonesia mengaku heran dengan narasi ekonom bahwa tekstil sudah masuk kategori industri sunset (sedang redup). Pandangan demikian dinilai merugikan industri tekstil karena membuat pemerintah dan investor jadi ikutan enggan memperkuat tekstil.
Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Indonesia (IKATSI) Suharno Rusdi mengatakan, tekstil sudah redup karena melihat industri tekstil di negara maju. Padahal, industri tekstil di negara seperti Jepang masih hidup, namun mereka membuka pabriknya di luar negeri.
Selain itu, terbukti bahwa negara-negara lain mulai menggenjot tekstil mereka bahkan mulai mengalahkan Indonesia.
“Vietnam itu sunshine. Bangladesh sunrise. China enjoy. Kita kemakan oleh definisi kita. Ini menjadikan investor-investor asing enggan masuk ke sini. Itu sangat berpengaruh sekali,” ujar Suharno di diskusi tekstil INDEF di Jakarta, Rabu (30/10).
Tercatat, per tahun 2018 ekspor tekstil dan apparel Vietnam dan Bangladesh jauh mengalahkan Indonesia. Ekspor Indonesia hanya USD 13,2 miliar, sementara Vietnam mencapai USD 39,8 miliar dan Bangladesh USD 67,1 miliar.
Suharno juga berharap pemerintah tidak mengabaikan institusi pendidikan tinggi tekstil. Pasalnya, jumlah pendidikan tinggi tekstil di Indonesia masih kalah banyak dibanding negara-negara lain. Inovasi tekstil di negara lain juga semakin terus maju.
“Amerika saja perguruan tingginya masih ada 100 lebih. Nanti kan tidak hanya baju biasa, ada baju anti peluru, anti radiasi segala macam, sekarang orang renang saja pakai baju enggak tenggelam,” tegas Suharno.
Dia pun berharap ada rebranding industri tekstil agar tidak lagi disebut industri sunset, melainkan industri potensial yang punya potensi besar bagi perekonomian negara.
Saran lain yang Suharno sebut untuk memperbaiki industri tekstil adalah restrukturisasi demi menghadapi revolusi industri 4.0, klasterisasi industri agar mendukung green industry dan efisiensi logistik.